Selasa, 24 Mei 2011

MATA KULIAH LINGUISTIK INDONESIA 1 ANALISIS MORFOLOGIS PEMAKAIAN AFIKS DALAM BAHASA INDONESIA

1. Pengantar
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melatih mahasiswa melakukan studi lapangan (field study) guna menerapkan teori-teori yang telah dikenal melalui kegiatan perkuliahan dan diskusi (tanya jawab di kelas). Juga kegiatan dimaksudkan untuk melatih mahasiswa melakukan kegiatan analisis kebahasaan yang berkaitan dengan bidang morfologi yang kemudian dituangkan dalam bentuk laporan studi lapangan berupa makalah. Objek studi lapangan ditentukan tidak hanya aspek morfologis bahasa Indonesia, tetapi juga aspek morfologis bahasa-bahasa daerah yang dikuasai oleh mahasiswa. Melalui kegiatan secara terprogram dan terarah, mahasiswa melakukan survei lapangan – dalam bentuk studi kepustakaan atau studi lapangan – untuk mengumpulkan data-data kebahasaan sesuai dengan topik yang telah ditentukan.
Kegiatan pengumpulan data dilakukan sesuai dengan bidang tugas timnya masing-masing. Setelah data terkumpul dan dipandang mencukupi serta representatif, kegiatan berikutnya segera dilakukan klasifikasi data yang telah diperoleh sesuai degan tujuan analisis. Selanjutnya, berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan telah diklasifiksikan, mahasiswa melakukan analisis untuk menyajikan (menulis) sebuah makalah. Di luar kegiatan penyajian (penulisan), mahasiswa dituntut untuk melakukan kontak diskusi sehubungan dengan topik yang sedang dianalisis. Semua tahapan kegiatan harus dilakukan sesui dengan jadwal yang terleh ditetapkan.

2. Topik Penelitian
Topik penelitian untuk penyusunan makalah berupa aspek morfologi bahasa Indonesia. Tiap topik dikerjakan secara mandiri (oleh tiap mahasiswa). Langkah kegiatan penyelesaian tugas rumah meliputi: survei (dalam rangka pengumpulan data), pengklasifikasian data, dan kegiatan analisis data (penulisan makalah).

3. Kerja Penyusunan Makalah
Lakukan analisis secara deskriptif afiks-afiks dalam bahasa Inodnesia dalam konteks pemakaian bahasa.(sesuai dengan topik masing-masing). Deskripsi (analsis) itu dilakukan untuk mengetahui perilaku afiks-afiks atas fungsi atau peran serta makna gramatik yang ditimbulkannya.

3. Langkah kerja yang harus dilakukan adalah:
(1) Pengumpulan data
Melakukan survei lapangan atau studi pustaka untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Data dapat diambil dari buku teks apa saja (buku pelajaran SD hingga universitas, novel, surat kabar, dan majalah). Khusus dari majalah dan surat kabar, jika data diambil dari ragam bahasa jurnalisistik, susun ulang kalimat tersebut agar menjadi kalimat baku (bukan ragam jurnalisitik). Data disajikan dalam bentuk kalimat tunggal atau kalimat majemuk. Jika sangat diperlukan, dapa dapat disajikan dalam bentuk alinea (sejauh hal itu dibutuhkan untuk keperluan analisis). Data juga dapat dibuat sendiri oleh penulis sebagai penutur asli dan diujikan pada penutur asli yang lain untuk menguji tingkat kegramatikannya (keberterimaannya) dan untuk menguji apakah struktur kalimat tersebut sudah benar.
Kumpulkan data pemakaian afiks dalam bentuk kalimat (tunggal atau majemuk) sejumlah yang dapat dijangkau dengan mempertimbangkan bentuk dasar yang memungkinkan dilekati oleh afiks tersbut, misalnya afiks meN- pada bentuk dasar berupa nomina (membatu, membudaya, mendarat), afiks meN- pada bentuk dasar pokok kata (menulis, mengambil, membaca), afiks meN- pada bentuk dasar verba (memindah, menurun, mengenal), dan afiks meN- pada bentuk dasar kata sifat (meluas, menyempit, melebar, jmenjauh). .
Contoh data yang digunakan dalam anilisis.
[1] Adonan semen itu membatu setelah dibiarkan selama empat jam.
[2] Tampaknya, hati orang itu telah membatu sehingga semua nasehat dan saran dari keluarga dan teman-teman dekatnya sudah tidak dihiraukan lagi.
[3] Pesawat itu mendarat di bandara pada pukul 07.15.
[4] Pemakaian telepon genggam sudah membudaya di kalangan masyarak sejak lima tahun lalu.
[5] Sejak istrinya meniggal dunia akibat penyakit yang dideritanya, Bayu Samudra menduda hingga kini.

(2) Klasifikasi data
Lakukan klasifikasi data sesuai dengan keperluan analisis yang akan dilakukan.

(3) Analisis data
Menyajikan hasil analisis dalam bentuk tulisan.(makalah).
Misalnya bahwa afiks meN- pada bentuk dasar nomina batu menjadi membatu mengandung makna ‘proses mengeras seperti batu’ dalam konteks tuturan (kalimat):
[1] Adonan semen itu membatu setelah dibiarkan selama empat jam.
[2] Tampaknya, hati orang itu telah membatu sehingga semua nasehat dan saran dari keluarga dan teman-teman dekatnya sudah tidak dihiraukan lagi.
. [3] ....

Hal-hal yang harus dilakukan:
misalnya, topik analisis Anda adalah afiks meN-
(a) Deskripsikan bahwa dalam bahasa Indonesia, misalnya, afiks meN- dapat melekat pada bentuk dasar nomina, verba dasar, adjektiva, numeralia, atau pronomina).
(b) Deskirpsikan fungsi yang diperankan oleh afiks meN- berkenaan dengan aspek derivasional atau inflesional.
(c) Deskripsikan makna (yaitu makna gramatikal) yang ditimbulkannya atas melekatnya afiks meN pada bentuk dasar itu.

4. Kalimat data yang Anda gunakan sebagai bahan analisis, baik yang digunakan sebagai pembuktian atau sebagai contoh deskripsi maupun tidak, disertakan dalam bentuk lampiran makalah setelah daftar pustaka. Halaman lampiran ditulis berlanjut setelah halaman daftar pustaka.

5. Kumpulkan tugas rumah Anda paling lambat pada pertemuan terakhir perkuliahan
( …. - .... - 2011).

6. Selamat berkarya. Semoga sukses meraih masa depan yang gemilang

7. Pembagian Tema:.
(1) afiks ber-
(2) afiks meN-
(3) afiks memper- dan –an
(4) afiks ter-
(5) afiks meN-/-kan
(6) afiks meN-/-i
(7) afiks memper-/-kan dan afiks memper-/-i
(8) afiks ber-/-an
(9) afiks peN-/-an dan afiks per-/-an
(10) afiks ke-/-an
(11) kata ulang
(12) ...
8. ...

Kamis, 05 Mei 2011

sekilas Tentang Sasindo

Sekilas Tentang Sasindo

Jurusan Sastra Indonesia (atau nama kerennya Sasindo) , hmmm…. apa yang pertama kali terlintas di benak kita ketika pertama kali mendengar ada Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UGM?. Mungkin hal pertama yang berkelebat di benak kita adalah sebuah jurusan yang mengajari mahasiswanya menulis puisi yang indah atau membuat cerita pendek (cerpen) dan novel yang bagus serta drama yang berkualitas. Sehingga setelah lulus dan mendapatkan gelar sarjana sastra kita beranggapan akan langsung bisa menjadi penyair ulung layaknya Chairil Anwar Sang Binatang jalang atau cerpenis handal semisal Seno Gumira Aji Dharma atau Triyantio Triwikromo yang cerpennya selalu dimuat di harian Kompas setiap bulannya, juga menjadi pengarang terkenal macam Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya dan Lady Writer: Dewi Lestari (Dee) dengan Perahu Kertasnya dan Ayu Utami yang terkenal lewat novelnya Saman dan Larung, serta menjadi dramawan semisal Riantiarno dengan Opera Kecoanya.
Sebenarnya pandangan umum semacam ini memang tidak sepenuhnya salah. Jurusan Sastra Indonesia memang sebuah jurusan yang berusaha mengkaji dan mendalami kesusastraan Indonesia seperti pengkajian terhadap puisi, novel, dan drama. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa fokus yang diterapkan, khususnya di UGM adalah mengarahkan mindset mahasiswanya sebagai seorang Ilmuan Sastra, bukan sebagai Penyair atau Pengarang. Mata kuliah yang didesain di Jurusan Sastra Indonesia pun menggiring pemikiran mahasiswanya untuk menempatkan diri sebagai pengkaji dan kritikus dari karya sastra yang pernah mewarnai jagad kesusastraan di Indonesia.
Dengan mendesain mata kuliah yang lebih mengutamakan teori sebagai pembangun kerangka berpikir, diharapkan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia mampu meneliti dan mengkaji sebuah karya sastra secara teoritis sehingga menghasilkan pemahaman tentang unsur-unsur dan nilai yang terkandung di dalam sebuah karya sastra hingga akhirnya bisa disampaikan secara jelas dan lugas kepada masyarakat. Jadi walaupun Jurusan Sastra Indonesia tidak mengarahkan pemikiran mahasiswanya untuk menjadi pengarang atau penyair yang handal, namun tidak menutup kemungkinan bahwa lulusan Sastra Indonesia mampu menjadi penulis atau penyair yang handal, apalagi jika kita telah dibekali dengan teori yang membangun sebuah karya sastra sehingga karya sastra yang kita hasilkan akan lebih bekualitas. Sebagai contoh, Ramayda Akmal, yang notabene adalah lulusan Jurusan Sastra Indonesia, lewat novelnya Jatisaba, mampu memenangkan ajang bergengsi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta yang diadakan tiap dua tahun sekali.
Selain mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kesusastraan Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia juga mempelajari seluk beluk pernaskahan Karya Sastra Melayu Klasik serta bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa yang kita gunakan sekarang, yakni bahasa Indonesia. Dari mata kuliah seputar Filologi dan Bahasa dan Sastra Melayu, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya bahasa yang dipakai Upin Ipin masih satu rumpun (masih saudara) dengan bahasa Indonesia, jadi tidak perlulah kita membesar-besarkan masalah dengan negara tetangga kita itu apalagi sampai membawa-bawa sentimen bahasa dan budaya, karena sebenarnya kita dengan mereka itu masih bersaudara.
Jika mereka mengaku-aku apa yang menjadi milik kita (yang sebenarnya juga masih milik mereka, karena masih bersaudara), tidak perlulah kita sampai berang apalagi mengancam perang, toh India pun tidak marah ketika kita mematenkan wayang dan mengaku kisah mahabarata sebagai karya milik kita.
Dan yang paling penting ketika masuk Jurusan Sastra Indonesia kita akan diajari bagaimana memahami struktur Bahasa Indonesia mulai dari fonem, kata, frasa, kalimat, hingga bagaimana menyusun sebuah paragraf dengan padu dan benar. Karena untuk mempelajari suatu karya sastra, kita perlu terlebih dahulu mempelajari bahasanya. Disinilah pengetahuan kita terhadap Bahasa Indonesia, yang notabene adalah bahasa ibu kita, lebih dimantapkan kembali dengan diadakannya mata kuliah Linguistik Indonesia.
Jadi Jurusan Sastra Indonesia membagi fokus pembelajaran menjadi tiga, yakni fokus pada bidang Sastra, Filologi, dan Lingusitik. Bagi mereka yang memliki kecenderungan lunatik (penghayal) dan memiliki daya imajinasi yang tinggi, serta ingin menjadi sastrawan (baik pengarang maupun kririkus sastra), maka fokus pada Sastra adalah pilihan yang tepat. Untuk mereka yang suka pada sejarah, terutama sejarah Karya Satra melayu Klasik dan memiliki jiwa peneliti dan petualang sejati (karena harus berburu naskah, bahkan sampai ke luar negeri), serta aingin menjadi seorang Filolog (ahli pernaskahan, terutama naskah-naskah klasik), maka fokus pada bidang Filologi adalah pilihan yang paling bijak. Sedangkan bagi mereka yang berkepribadian serius, memiliki motivasi kuat untuk mempelajari Bahasa Indonesia secara mendalam, dan ingin menjadi ahli bahasa (lazim disebut Linguis), maka bidang Linguistik adalah pilihan yang benar.
Selama ini banyak juga yang mengasumsikan bahwa lulusan Jurusan Sastra Indonesia sulit mendapatkan pekerjaan, namun hal itu hanyalah anggapan tak berdasar yang hanya berdasarkan pemikiran yang dangkal saja. Lulusan Sastra Indonesia bisa menjadi apa saja yang meraka inginkan, tergantung minat dan kemampuan.Soal penghasilan, pastilah akan menyusul seiring karir kita di bidang yang ingin digeluti. Mayoritas lulusan Sastra Indoneia memlih menjadi dosen karena selain cukup menjanjikan secara finansial, karirnya juga relatif stabil. Namun banyak pula yang memilih bekerja sebagai wartawan, menjadi script writer di televisi maupun di perfilman, dan menjadi seorang novelis atau pengarang.
Jadi kesimpulannya, sebagai generasi muda, sudah seyogianya kita menilik kembali apa yang kita miliki, dan tidak turut larut dalam euforia dan hegemoni budaya asing yang masuk ke Indonesia. Jadi, kalau bukan kita yang mempelajari bahasa dan sastra kita sendiri, lalu siapa lagi? Apakah kita mau kalah dengan orang asing dari berbagai negara seperti China, Japang, Korea, Australia hingga prancis yang justru sangat bersemangat dalam mempelajari bahasa dan satra Indonesia, apa kita tidak malu?... Salam Budaya!

Senin, 02 Mei 2011

Kesadarin Diri Sastra Melayu Klasik

"Kesadaran Diri" Sastra Melayu Dalam Zaman Klasik (Sebuah Rekonstruksi)

Sastra tradisional Melayu kekurangan karangan karangan yang bersifat teori dan ilmu puitika yang memungkinkan untuk memasuki masalah kesadaran diri sastra pada penciptanya. Namun, dalam sebuah kata pengantar suatu karangan, terkandung cukup bahan untuk merekonstruksi "kesadaran diri" sastra dalam periode klasik (yakni akhir abad 16 sampai awal abad 19). Unsur yang penting dalam merekonstruksi kesadaran diri adalah kata pengantar dan epilog karangan. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan penghubung antara karangan dengan Universum atau Alam Semesta yang merupakan sebuah sistem menyeluruh yang memusat (sentripetal).
Contoh rekonstruksi "Kesadaran Diri" pada Sastra Jawa Kuno dikemukakan oleh P. Zoetmulder (1974:173-196) pada pendahuluan (manggala) kakawin. Manggala ini berisi tentang seluk beluk kehidupan penyair Jawa Kuno.
Kata pengantar dan Epilog digunakan sebagai bahan utama untuk merekonstruksi "kesadaran diri" karena mudah diperoleh. Kata pengantar dan epilog selain dapat ditemukan pada penerbitan karangan karangan, juga terdapat dalam katalog naskah melayu (Ronkel 1909, 1921 dll) dimana kutipan kata pengantar epilog digunakan sebagai identifikasi karangan yang bersangkutan.

Kata pengantar karangan puitis (syair) berbeda panjangnya dalam setiap karangan. Di dalamnya berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, motivasi pengarang, tujuan penciptaan syair, kendala yang dihadapi dan upaya mengatasinya, serta kekurangan karangan.
Kata pengantar karangan syair lebih rinci daripada kata pengantar prosa. Kata pengantar pada karangan prosa sering disederhanakan tanpa mengubah inti semantiknya.
Kata pengantar memanifestasikan konsep Penciptaan melalui perantaraan manusia. Konsep muslim tentang penciptaan melalui perantaraan manusia digunakan sebagai dasar teori, paradigma, terhadap segala bentuk aktivitas termasuk aktivitas literer.
Penciptaan dilaksanakan dalam dua taraf. Taraf pertama ialah penciptaan kesadaran ilahi, yang meliputi ide ide segala benda yang dalam keadaan potensial dan tidak pandang bulu. Lebih tepatnya ialah keluarnya ide tentang suatu benda dari kesatuan sistetis. Taraf kedua, menyusul diucapkannya kata kreatif "kun!", yaitu turunnya ide tentang benda ke dalam dunia materi (alam wadak) dan diterimanya wujud aktual olehnya.
Dalam tahap Penciptaan, struktur kosmos (makrokosmos) serupa dengan struktur jiwa manusia (mikrokosmos). Jiwa manusia merupakan suatu struktur rumit yang tersusun secara hierarkis, dengan fungsi fungsi (kekuatan, quwat) yang lebih rendah melayani yang lebih tinggi.

Persepsi Tentang Inspirasi
(Tahap Reseptif Dalam Proses Kreasi)
Diskripsi mengenai "tahap reseptif" dalam proses kreasi, yang khas bagi syair melayu, dimulai dengan seruan kepada Allah disusul kemudian motif yang berulang ulang.
"Bismillah itu mula dikata
Limpah rahmat terang cuaca
kepada mu'min hati nurani
Di situlah tempat mengasihani" (Raja Iskandar bin Raja Muhd. Zahid 1966:30)
Hakikat kutipan tersebut dapat dirumuskan bahwa dengan menyebut Tuhan dengan nama nama Allah, Rahman (Pengasih) dan Rahim (Penyayang), penyair memohon padaNya agar memberikan rahmat yang melimpah.

Rahmat Ilahi
Baris awal kata pengantar mengandung dan memberi tafsir pada doa "Bismillah ar Rahman ar Rahim" yang memberi sequan pada Allah sebagai Pencipta segala yang ada. Misal pada syair Yahya:
"Bismillah itu permualaan kalam,
Dengan nama khalik al Alam,
Limpah rahmat siang dan malam,
Kepada hambanya segala Islam" (Ronkel 1909:322)
Menurut ajaran tentang tujuh tingkatan (Martabat Tujuh) dari turunnya Wujud keesaan Mutlak kepada keanekaan dunia gejala. Nama Allah berkaitan dengan martabat kedua, yaitu wahdat. Nama Rahman (Pengasih) berkaitan dengan martabat ketiga yakni Wahidiyat.
Selanjutnya disebut Rahman sebagai pemberi wujud segala benda, dan nama Rahim memberi wujud pada benda tertentu saja yang baik dan indah.
Dengan demikian, tindakan menciptakan karya sastra dilaksanakan berkat persepsi pengarang terhadap daya cipta ilahi (Persepsi ilham atau inspirasi ilahi). Inspirasi ini diasumsikan dengan banyaknya ide menulis, tercerahkannya jiwa dan sebagainya.

Nur Muhammda dan Syafaat Muhammad
Kata pengantar menjadi penghubung dunia insan (penyair, pengarang) dengan kegiatan penciptaan al khalik. Unsur ini ialah Cahaya (Cahaya rahmat, Cahaya Nurani, dan sebagainya) yang melimpah atas hati yang safi, yaitu jiwa yang terterangi, dan yang dapat ditangkap olehnya, Lambang cahaya (Cahaya inspirasi) berhubungan erat dengan paham tentang berkat Muhammad atau berkat syafa'at. Berkat ini ditafsirkan sebagai permintaan Muhammad di hadapan Allah agar menganugerahi kemampuan menciptakan karya.
Muhammad sebagai Logos (Nur Muhammad, Hakikat Muhammad) merupakan pengetahuan ilahi yang meliputi segala Maujudat (benda benda ciptaan) yang pertama tama dinyatakan keluar. Dalam doktrin martabat Tujuh, konsep Muhammad sebagai Logos berkaitan dengan martabat yang disebut Wahdat (Johns. 1957:21).
Unsur Unsur Proses Penciptaan di Tahap Reseptif

Sifat Weltanschaung Muslim Zaman Pertengahan yang sangat sistematis menyebabkan ditemukannya sejumlah keterangan yang memungkinkan untuk merekonstruksi proses kreatif jika dipandang secara menyeluruh. Dalam merekonstruksi proses kreatif terdapat hubungan paralel antara ontologi dan psikologi Muslim Tradisional. Naguib Al Attas (1970:71-72, 155-157:1971:42-44) membedakan dalam beberapa tingkatan
Pertama (sama dengan Arasy). Pada tingkat ini benda benda yang akan diciptakan ada dalam pengetahuan Ilahi berupa ide ide umum.
Kedua (sama dengan Kursi). Pada tingkatan ini, ide ide dari benda seakan muncul satu demi satu.
Ketiga. Pada tingkatan ini, kalam Tertingi (Qalam Al Ala) mencatat bentuk benda benda yang diciptakan Lauh al Mahfuz dan patuh pada sabda penciptaan "kun!".
Keempat. Pada tingkat ini terjadi materialisasi dari bentuk bentuk ideal dalam dunia jasmaniah, dimana ide menjadi benda benda aktual.
Dalam karya karya puisi, terdapat 3 hal yang menjadi unsur tipikal, yakni "intelek"(akal atau hati nurani)->jiwa (hati, kalbu, nyawa)->tangan (perbuatan penetapan) atau karya sastra sebagai hasil penetapan.
Akal merupakan aspek intelektual ruh insani, yang mampu memasuki dunia tersembunyi (alam ghaib) yang tidak kasat mata. Akal juga merupakan "tuan bagi jiwa".
Jiwa merupakan tempat gabungan antara yang dikognisi secara intelektual (dunia notmenal) dan yang dikognisi secara sensual (dunia fenomenal). Tradisi Muslim membedakan funhsi inheren di dalam jiwa menjadi dua. Pertama 'indra dalam' (batin) dan 'indra luar'(lahir, zahir) yang masing masing dipandang sebagai aspek aspek indrawi dan psikis pada jiwa.

Psikologi Perbuatan Penciptaan Sebagai Keseluruhan Yang Dinamis

Dalam Tradisi Melayu, terdapat dua jalan yang ditempuh para pengarang pada tingkat reseptif dalam perbuatan kreatif. Jalan pertama biasanya ditempuh kaum berilmu (pandhita) yang berhubungan dengan asimilasi ide ide umum. Ide ide ditangkap dari luar (terutama dari gurunya), lalu disampaikan ke imajinasinya, hingga akhirnya menemukan penetapanya dalam karangan.
Jalan kedua dihubungkan dengan inspirasi dari atas, persepsi langsung pengarang terhadap Daya Cipta Allah yang dinyatakan di dalam Nabi Muhammad sebagai Logos. Jalan ini biasanya ditempuh oleh pengarang muda yang belum cukup ilmunya dan kurang sempurna akalnya.

Penciptaan Karya Sastra
(Tahap Agentif dalam Proses Kreasi)

Menurut teori sastra Islam turunnya Sastra dari tingkatan ide ide citra ke tingkatan benda benda yang berwujud pada dunia material, harus dilakukan dengan cara yang benar.
Aspek terpentin dalam penurunan ini adalah kesesuain antara kata dengan citra ideal, struktur komposisi yang rapi, dan dinyatakan citra ideal dengan cara seefektif efektifnya. Di dalam teori sastra mengetahui ciri teori Sastra Melayu Tradisional (Ilm al Balagha) digunakan sebagai pembanding prinsip di dalamnya.

Pernyataan Yang Tersirat (Makna) melalui yang tersurat (Kata)

Penjelasan paling lengkap tentang pernyataan arti yang benar di dalam karangan sastra, tersimpul dalam kata pengantar dan epilog Taj as Salatin. Ini pula yang menjadi kunci untuk memahami kata pengantar pada banyak karya klasik lainnya.
"Kitab ini yang Maha Mulia dikarangkan pada menyatakan peri pekerjaan segala raja...dengan ibarat yang amin (atau "yang ikhsan" [Khalid Hussain 1966:5]:V.B dan yang sempurna, supaya orang beroleh dari pada bacanya manfaat dan dari pada menurut katanya martabat"(Roorda Van Eysinga 1827:5).
Ilmu Fasihat Arab dan Doktrin Melayu Tentang Pernyataan Makna : Suatu Perbandinan

Teori "ilmu fasihat" (Ilm al Balagha) dikembangkan oleh Abd Al Qahir al Jurjani dan pengikutnya. Teori ini memadukan pengalaman kajian Stilistika Al Quran yang 'tak bertara' (I'jaz al Quran) maupun kritik karangan puisi.
Dua konsep dasar retorika dan puitika Arab adalah Lafz dan Ma'na (lafal dan makna). Lafz (kompleks suara yang diartikulasi, suatu kata terpisah atau suatu totalitas kata dalam aspek fonetik) ialah aspek lahiriah bahasa yang material, yang ditangkap telinga. Sedangkan Ma'na (jamak Ma'ani) oleh para peneliti ilmu puitika Arab Parsi diterjemahkan dalam berbagai pengertian. Terkadang sebagai ide puitis (Ibn Khaldun 1958:3:399-406), terkadang sebagai motif puitis atau pikran dan citra.
Kesesuaian Lafz denan Ma'na merupakan ide terpentin dalam ilmu puitika Arab. Ide ini dikembangkan dalam kitab Abd. Al Qahir al Jurjani, Dala'il al i'jaz (bukti bukti ketiadataraan Al Quran). Di dalamnya Lafz dan Ma'na dikemukakan sebagai dua struktur yang saling bersesuain dan tersusun secara benar.

Rabu, 13 April 2011

STRUKTUR KARAKTER DRAMA DAG DIG DUG

PENDAHULUAN
I. SEKILAS TENTANG PUTU WIJAYA
Putu Wijaya, pengarang yang produktif ini bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, Lahir di Puri Anom, Sarem, Kangin, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Sejak ,duduk di SMP mulai menulis cerita pendek dan ketika di SMA Singaraja mulai terjun ke dalam kegiatan sandiwara. Tamat SMA masuk Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, meraih gelar Sarjana Hukum jurusan Perdata di tahun 1969. Sebelum hijrah ke Jakarta tahun 1970, ia belajar melukis di ASRI dan drama di ASDRAFI Yogyakarta. Senagai pengarang yang produktif, telah banyak naskah drama yang ia ciptakan, diantarannya yakni Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), dan Gerr (1986). Kini ia aktif mengelola Teater Mandiri, sebuah bengkel teater yang ia dirikan di Jakarta.
II. TENTANG DRAMA DAG DIG DUG
Drama tiga babak Dag Dig Dug merupakan drama yang pernah menjuarai sayembara penulisan naskah lakon yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976. Drama ini berkisah tentang kehidupan sepasang suami istri pensiunan yang mengelola sebuah rumah indekosan dan memafaatkan uang sewa kos dan uang pensiunan sebagai nafkah hidup mereka di usia senja. Disamping itu, muncul tokoh Cokro yang pada babak pertama dan kedua tidak pernah terlihat, dan hanya terdengar suaranya saja. Baru pada babak ketiga ia menampakkan wajahnya. Lalu muncul juga tokoh Tamu I dan Tamu II, Tobing, serta Ibrahim.
Cerita bermula dengan perbincangan tokoh Suami dan Istri yang tengah membicarakan siapa itu Chaerul Umam. Merka yang merasa tidak mengenal Chaerul Umam tiba-tiba mendapat surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa Chaerul Umam telah meninggal karena kecelakan. Cerita berlanjut dengan datangnya dua orang tamu pria yang mengaku rekan Chaerul Umam di Jakarta. Mereka memberikan uang milik Chaerul Umam kepada Suami dan Istri yang ternyata isinya tidak sesuai dengan kwitansi yang tertera. Alhasil mereka mengembalikan uang tersebut setelah menambahkan uang tabungan mereka yang sedianya akan digunakan untuk biaya pemakaman mereka. Setelah menabung sekian lama, akhirnya mereka memliliki cukup uang lagi untuk membeli material yang diperlukan untuk pembangaunan makam. Disini muncul tokoh Ibrahim yang menjadi tukang yang bersedia membangun makam. Tokoh Tobing juga muncul sebagai orang yang ditawari rumah Suami dan Istri dengan harga murah. Dia akhir cerita, muncul tokoh Cokro yang walaupun tidak begitu dominan di awal dan tengah cerita, ternyata menjadi tokoh penentu di akhir cerita.








PEMBAHASAN
I. LANDASAN TEORI
Karakter merupakan salah satu struktur yang terdapat dalam sebuah drama selain plot dan tema. Unsur karakter (character) yang terdapat dalam drama lazim disebut tokoh. Tokoh merupakan unsur dominan dalam sebuah drama yang berfungsi sebagai sebagai penggerak alur dalam drama. Dengan adanya tokoh, maka alur dalam drama akan menjadi hidup dan mengalir. Penokohan merupakan salah satu sarana yang digunakan oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan alasan masuk akal terhadap sikap dan perilaku tokoh dalam sebuah drama. Tokoh merupakan bagian krusial dari sebuah drama karena dengan keberadaan tokoh makan akan terjalin sebuah alur yang akan menghidupkan latar dan rangkaian peristiwa.
Di samping itu, penokohan dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni watak datar (flat characterization) dan watak bulat (round characterization). Flat characterization atau watak datar ialah watak tokoh-tokoh cerita yang bersifat statis,datar,monoton,dan hanya menonjolkan satu watak tertentu saja yang dicerminkan selama jalannya cerita. Sedangkan watak bulat (round characterization) adalah watak tokoh cerita yang kompleks(bermacam-macam), seringkali mengalami perubahan sehingga tidak bisa diidentifikasikan apakah ia berwatak baik atau jahat.
Menurut Kernodle (1966:350-353), karakter tidak hanya mengacu pada dimensi fisik tokoh seperti pengenalan toko melalui umur, bentuk fisik, penampilan, kostum, tempo/irama permainan tokoh, namun juga dimensi psikologis tokoh seperti sikap batin tokoh. Sikap batin biasanya berkenaan pada gejala psikologis seorang tokoh seperti tokoh yang emosional, periang, pemurung, pendiam, humoris, bijak, cerewet, serius, pelupa, dan lain sebagainya.
Dalam menganalisis karakter, dikenal 3 metode, yakni metode analitik, metode dramatik, dan metode analitik-dramatik. Metode analitik merupakan metode penokohan dengan menguraikan langsung tokoh tokohnya. Metode dramatik ditempuh melalui percakapan, pikiran tokoh, atau tanggapan tokoh yang lain. Sedangkan metode analitik-dramatik merupakan metode kombinasi antara metode analitik dan dramatik (Tasrif dalam Harymawan, 1988:18)

II. KARAKTER DALAM DRAMA DAG DIG DUG
A. KARAKTER SUAMI
Karakter suami digambarkan sebagai seorang pensiunan yang juga bekas pemain tonil semasa mudanya dulu. Tokoh suami merupakan tokoh yang mendominasi hampir keseluruhan adegan bersama tokoh istri. Keduanya menjalin alur cerita melalui percakapan/ dialog antar tokoh. Si suami adalah seorang pria tua pensiunan bekas pemain tonil yang berumur antara 60-65 tahun. Dimensi fisik tokoh suami tidak begitu dijabarkan secara terperinci. Ia hanya digambarkan sebagai seorang pria tua yang menderita asma dan sakit encok di pinggangnya. Tokoh ini selalu duduk di beranda sambil minum kopi dan makan camilan bersama istrinya.
Dimensi psikologis karakter suami terwujud dari dialog dialognya dan juga reaksi tokoh lain atas ucapan dan tindakannya. Tokoh suami adalah seorang pria tua yang pelupa. Sifatnya itulah yang kerap menjadi pemicu pertengkaran dengan istrinya bahkan hanya karena masalah sepele sekalipun.
"Lupa, bagaimana ingat?"
"coba, coba! Nanti diberi tahu lupa lagi. Jangan biasakan otak manja". (Hal.7)

"Aku tidak ingat Tobingmu. Dan Chairul, Chairul... Tampangnya kumis? Hatinya baik? Tidak ingat. Sedih juga rasanya orang yang pernah kenal mati disana. Sedih lagi aku tak ingat apa-apa"(Hal 10)

Sifatnya yang pelupa juga membuatnya kerap salah dalam mendiskripsikan orang lain. Hal inil juga yang membuatnya tidak ingat terhadap Chaerul Umam.
"Tapi kulitnya bersih. Agak kukulan. Rambut panjang. Ingat sekarang. Dia tidak suka sepatu. Tidak suka dasi. Tidak suka jas. Makan pakai tangan. Tidak suka jam tangan. Ya!".
"Itu Tholib"(Hal.11)

"O, yang suka meludah di depan sana?"
"Itu Bahrum"(Hal.12)

Sebagai mantan pemain tonil, maka ia pandai dalam mengolah perasaannya sehingga dapat bereaksi dengan cepat terhadap perubahan suasana yang mendadak sekalipun. Maka tidak mengherankan juga bila tokoh Suami pandai bersandiwara.
"Ma'af, bapak memang pemain tonil waktu mudanya. Ia biasa memainkan sejarah, jadi cepat sekali sedih" (Hal.18)
Dari dialog-dialognya, dapat diketahui bahwa tokoh suami adalah seorang pria yang suka berkata kasas kepada istrinya. Si suami juga sering menyalahkan istri atas masalah yang menjadi penyebab pertengkaran mereka.

"Dengar goblok! Tidak bisa dikembalikan karena kurang. Kalau ikut saja pendapatku, kembalikan, kembalikan, sudah beres".(Hal.26)

"Tidak bisa! Aku mengerti maksudmu, pokoknya kau mau menyalahkan aku"(Hal.26)

Tokoh suami juga digambarkan memiliki sifat takabur sehingga ia merasa sok berani mati padahal kenyataannya ia juga takut mati.
"Jangan takabur!"
"Apa takabur?Hah! Apa!" (ia mencoba mendekati kain putih itu, tetapi langkahnya tertegun). Kau sendiri tidak? (Hal.68)
Namun dibalik karakter buruk yang melekat pada tokoh sumi, masih ada sedikit rasa sedikit peduli pada cokro yang sedang sakit.

"Orang sakit kok dibentak-bentak. Makanya sini!"

"sudah, jangan dirongrong, buka pintunya! Sana” (Hal.55)

B. KARAKTER ISTRI
Karakter istri merupakan karakter yang mendominasi hampir keseluruhan adegan dalam drama ini bersama tokoh suami. Secara fisik, tokoh istri ini juga tidak digambarkan secara mendetail seperti halnya tokoh suami. Tokoh istri adalah perempuan tua yang berusia sekitar 60-65 tahun. Karena usianya yang sudah tua, ia sering menderita sakit kepala. Ia biasa duduk-duduk di beranda menemani suaminya bersantai. Tokoh istri merupakan "parter" dari tokoh suami dalam hal bertengkar, dan pertengkaran merekalah yang menggerakkan alur sehingga terasa hidup. Melalui pertengkaran mereka, kedua tokoh berusaha mengungkapkan kejadian sebenarnya yang terjadi dalam batin, pikiran, maupun angan-angan mereka.
Secara psikologis, tokoh istri digambarkan sebagai seorang perempuan kasar dan pemarah. Hal ini sering memicu pertengkaran kecil mereka semakin menjadi hingga akhirnya reda dengan sendirinya.

"Dua puluh!!(membentak)

(marah) “Habis dua puluh, mana ingat semua. Belum lagi suka pindah. Kamu kerjanya saban hari duduk, tentu saja ingat. Kita yang ngurusin suka bingung". (Hal.13)
(hendak marah)"jangan mancing mancing aku marah!". (Hal.71)
Sifat tokoh istri yang keras kepala dan tidak mau mengalah membuat tokoh istri mendominasi hampir semua dialog dan menimbulkan kesan tokoh suami sebagai seorang yang takut kepada istri.
"makanya jangan berlagak"
"siapa?"
"kau"
"lho"
"tidak ngaku?"
"orang lupa kok berlagak"
"nggak!" (Hal.13)
Tokoh istri juga diambarkan sebagai seorang perempuan tua cerewet yang mau menang sendiri. Sifat ini yang membuat cokro tidak menyukai tokoh istri selain sikapnya yang suka memerintah dan memaki.

"Dan lagi, yang selalu cerewet dalam segala hal, kok diam dalam hal ini membiarkan saja. Penyakitmu itu..."

"Cokro!!!Cokro!!! (kedengaran suara menyahut jauh). Jemuran nasi pindah!. Bikin air panas lagi!!! Telor ayam ambil! Jangan lepas yang putih!...
(Hal.14)


"..Senangnya memerintah orang, mau benar sendiri, tahu salah tapi masih tidak mau ngaku. Sudah sering, maunya menang sendiri...(Hal.27).

"Biarin orang edan!"
"biar saja edan!"(Hal.77)
Melalui penuturan suami melalui dialognya, diketahui bahwa tokoh istri juga memiliki sifat plin-plan dan tidak teguh pendirian.
"..Penyakitmu yang lain, kau tidak punya, pikiranmu hanya pulang balik kanan kiri, tidak bisa sedikit mengembang mengempis" (Hal.26)
Sikap si istri yang selalu menaruh curiga kepada setiap orang dan tidak mudah bersimpati kepada orang lain membuatnya menjadi pribadi yang kaku dan senang menuduh orang lain.
"keterlaluan mencurigai semua orang!"
"Memang mereka jujur? Aduuuh! Kalu jujur mereka harus sabar tunggu. Tidak akan lama lagi. Kita juga sudah bosan begini!" (Hal.63)
Karena sifatnya yang pencuriga dan suka menuduhlah yang membuat kebencian dan dendam Cokro memuncak sehingga ia berani bersuara setelah sekian lama diam saja atas perlakuan yang diterimanya. Sifatnya ini pula yang membuat suaminya bertengkar hebat dengan Cokro yang berakhir dengan kematian keduanya ditangan Cokro.
"siapa menghasut dia?"
"sejak dia membaca buku wasiatmu"
"apa dia baca?"
"barangkali orang lain baca, waktu menjenguk kuburan dulu. Makanya hati-hati!"
"aku taruh di bawah kasur!"
"Dia bongkar-bongkar kalau kita pergi"(Hal.77)

"pencuri, dia bilang pencuri, coba siapa lagi, jadi betul dia yang mencuri uang Chaerul Umam, kita sudah curiga,ya!"(Hal.81)

C. KARAKTER COKRO
Karakter Cokro merupakan karakter yang unik, dimana karakter ini hanya dihadirikan berupa suara suara saja hingga sampai pada adegan tentang dirinya (adegan Cokro). Kehadiran Cokro yang hanya muncul di babak terakhir ini ternyata sangat penting dalam menggerakkan alur cerita. Tokoh Cokro menjadi penentu jalannya akhir cerita. Karakter tentang cokro dapat dilihat melalui dialog -dialognya (baik dialog dengan tokoh lain maupun monolog pada dirinya sendiri) dan juga penjelasan pengarang tentang gambaran tokoh.
Pada awal kemunculannya, tokoh Cokro digambarkan pengarang sebagai perempuan tua yang membawa serbet, kebut, sapu, dan alat kebersihan lainnya. Ia diceritakan sangat menderita karena diperlakukan sebagai seorang pembantu. Walaupun begitu, ia sangat keras kepala. Walaupun sudah tua, ia masih tetap sehat dan kuat karena setiap hari bekerja keras.
Cokro yang tak pernah kelihatan itu sekarang membawa serbet, kebut, sapu dan sebagainya alat-alat untuk membersihkan. Ia melempar alat alat itu ke tengah ruangan satu persatu. Kemudian ia muncul. Cokro seorang perempuan tua juga. Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari bekerja berat. (Hal.67-68)
Cokro sebenarnya adalah adik perempuan tokoh istri yang dibawa dari kampung untuk membantu kehidupan rumah tangga tokoh suami dan istri dengan janji akan diberi sawah dan kehidupan layak dan mewah di kota. Namun pada kenyataannya, ia diperlakukan sebagai pembantu yang harus bekerja keras setiap hari.
Dimensi psikologis Cokro tercermin dari dialognya yang kaku kepada tokoh suami dan istri. Sifat kaku dan keras yang ditunjukan Cokro merupakan hasil kemarahan dan kekecewaannya atas perlakuan Suami dan Istri.

"tiap hari ribut. Apa?"
...
"Dipindahkan sendiri, sekarang ribut sendiri"
...
(kesal)"ya!"(Hal.61)
...
"Yaaaaa!!!Bangsat!"(Hal.70)

Karena perlakuan yang diterimanya, diam-diam Cokro menyimpan dendam dan rasa benci kepada tokoh suami dan istri. Puncak kekecawaan dan kemarahan Cokro terjadi ketika dirinya dituduh membaca surat wasiat yang dibuat oleh Suami yang ia sembunyikan di bawah bantal. Pertengkaran dengan tokoh suami membuahkan kematian tokoh suami dan istri di tangan Cokro pada akhir cerita.
D. KARAKTER IBRAHIM
Karakter Ibrahim muncul di bagian pertengahan cerita. Karakter ini dihadirkan sebagai tokoh yang merealisasikan rancangan kuburan yang telah didesain salah satu anak kost yang pernah tinggal di rumah tokoh suami dan istri. Ibrahim diceritakan sebagai seorang tukang bangunan yang biasa dimintai jasanya untuk membangun sesuatu baik secara perorangan maupun borongan. Dimensi fisik tokoh Ibrahim digambarkan melalui penjelasan pengarang tentang gambaran karakter. Ibrahim digambarkan sebagai seorang pria perokok yang berpakain kedodoran, kumal, dan terkesan menyembunyikan sesuatu. Dimensi fisik yang diceritakan melalui dialog antar tokoh diketahui bahwa Ibrahim adalah pria penyakitan.
"kenalanmu Ibrahim itu? Penyakitan, apa dia sanggup kerja kalau kita mati?" (Hal.41)

Melalui dialog tokoh istri yang semenjak awal tidak bersimpati kepadanya, diketahui bahwa Ibrahim adalah tipikal orang yang kurang terorganisir(ditunjukkan melalui pakainnya yang sering kedodoran), tidak sopan (ditanya malah ganti bertanya), serta kurang memperhatikan tata krama.
"sekarang aku tidak mau ikut campur. Urus sendiri tukangmu ini. Pakaian kedodoran. Ditanya malah ganti nanya. Caranya makan seperti itu, kerjanya pasti begitu juga..." (Hal.47)

Di samping itu, tokoh ibrahim juga digambarkan sebagai orang yang oportunis selama itu menyangkut kepentingan pribadinya, dan jug terkesan berbelit belit dalam berbicara.
E. KARAKTER TOBING
Karakter Tobing merupakan tokoh yan muncul di pertengahan cerita. Ia diceritakn sebagai seorang pemuda yang pernah mondok di tempat suami dan istri. Melalui dialog tokoh lain, diketahui bahwa Tobing adalah seorang pemuda berusia sekitar 30-35 tahun.yang tergolong sukses karena setelah lulus ia diceritakan pernah keluar negri, banyak memimpin, dan sudah berkeluarga dan menetap di daerah yang sama dengan Tokoh suami dan istri. Ia juga diceritakan memiliki penghasilan yang tetap dan lumaya besar sehingga mampu mencicil rumah Suami dan Istri yang dijual murah dengan syarat Tobing harus mengurus pemakaman mereka kelak. Dimensi psikologis Tobing dapat dilihat melalui penjabaran tokoh suami yang menceritakan bahwa Tobing merupakan pemuda yang berwawasan luas.
"apalagi Nak Tobing juga tahu seluk beluk. Pokoknya kami percaya pada Nak Tobing"(Hal.51)
...
"gajih nak Tobing kan besar"(Hal.52)
Walaupun begitu, karena sifat tokoh istri yang pencuriga dan suka menuduh tanpa dasar, maka dalama dialognya Tobing diceritakan sebagai orang yang tidak sabaran menunggu mereka berdua mati dan juga lemah terhadap istrinya. Bahkan ia juga dituduh bersekongkol dengan Cokro mencuri uang Chaerul Umam. Namun tuduhan itu tidak terbukti hingga akhir cerita.
"Tidak sabaran, maunya kita cepat cepat mati. Mentang mentang sudah lunas cicilannya.."(Hal.62)
...
"Tobing lemah terhadap perempuan, seperti kau!" (Hal.62)
...
"Rasanya kok ya, ya! Tobing -Cokro dulu komplot! Ya?!"(Hal.81).

F. KARAKTER TAMU l DAN TAMU ll
Karakter Tamu I dan Tamu II tidak begitu menonjol dalam drama ini. Kedua karakter dihadirkan hanya untuk mengabarkan berita kematian Chaerul Umam yang identitasnya tidak jelas sampai akhir cerita. Kedua tokoh ini diketahui sebagai rekan kerja Chaerul Umam di Jakarta melaui dialognya.
Dimensi fisik kedua tokoh tidak dijelaskan secara mendetail. Melalui penjelasan pengarang tentang gambaran tokoh, keduanya adalah laki-laki yang berusia sebaya dengan Chaerul Umam, yakni sekitar 20-25 tahun.Sedangkan melalui dialog antar tokoh, diketahui bahwa keduanya berprofesi sebagai wartawan yang sangat sibuk.

"kami repot sekali. Banyak tugas. Besok pagi kami harus kembali ke Jakarta"
...
"terima kasih bu, kami repot, maklum wartawan" (Hal.18)














DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum.2010.Drama, Sajarah Teori, dan Penerapannya.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/putuwijaya.html
Harymawan.1994.Dramaturgi.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Sabtu, 09 April 2011

SAJAK DATANG DARA HILANG DARA KARYA: CHAIRIL ANWAR ANALISIS STRATA NORMA ROMAN INGARDEN

Datang Dara, Hilang Dara

“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak

Diumumkan oleh H.B Jassin dalam majalah: Mimbar Indonesia


















Analisis Strata Norma Roman Ingarden Sajak Datang Dara Hilang Dara
Karya : Chairil Anwar

1. LAPIS BUNYI/LAPIS SUARA
Lapis bunyi dalam sajak adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan efek puitis dan nilai seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain bunyi juga memilki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya. Dalam sejarah puisi, bunyi pernah menjadi unsur kepuitisan yang paling dominan (utama) pada sastra Romantik (abad ke-18 dan 19). Bahkan Paul Verlaine, seorang simbolis, mengatakan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Slametmuljana menambahkan bahwa tiap kata (dalam puisi) menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 22).
Dalam bait pertama sajak datang dara hilang dara, terdapat kombinasi vokal (asonansi) bunyi a dan i pada kata sendiri, berani, mencari, dara, mengembara, dan senja. Pada bait pertama terdapat aliterasi r yang masing-masing ada pada kata dara, sendiri, berani, mengembara, dan mencari.
Dalam bait kedua, terdapat asonansi a dan u pada kata mau, menyapu, dan rambutku. Kombinansi bunyi konsonan bersuara (voiced): (b,d,g,j) pada kata biar, menderu, sejenak, dan gelombang dan bunyi sengau (nasal): (m, n, ng,ny) pada kata malam, menderu, mengembara, menyisir, dan menyapu mendukung suasana gembira yang ditunjukkan dara pada bait ke dua.
Di bait ketiga, ada asonansi bunyi a dan i pada kata terurai, cari, asing, dan pantai. Bunyi liquida l dan r juga ditemukan pada kata rambutku, lepas, terurai, dan bunyi sengau pada kata dingin, asing, pulang, rambut, dan pantai.
Pada bait keempat, dominasi bunyi a dan u menimbulkan asonansi bunyi terutama pada baris 1, 2, dan 3 yang digunakan sebagai lambang rasa (klanksymboliek) yang menyatakan kegembiraan seorang gadis yang tengah bersenandung. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata dingin, bintang, dengan, dan bernyanyi yang menimbulkan bunyi yang padu (eufoni).
Pada bait kelima, terdapat kombinasi yang tidak merdu (kakofoni) yang menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan seperti ditunjukkan pada baris kedua dan ketiga.
Pada bait ke enam, ditemukan bunyi onamatope yang menirukan bunyi seekor burung elang pada kata “heeyaa!”. Dominasi bunyi sengau pada kata elang, sekarang, hilang, pasang, melenggang, gelombang, pantai, dan senja menimbulkan kepaduan bunyi yang merdu (eufoni).
Di bait ketujuh, ditemukan bunyi penanda kakofoni (k,p,t,s) pada kata mengamuk dan membuas yang menjadikan bunyi menjadi tidak padu, tidak merdu, apalagi tidak ditemukan aliterasi maupun asonansi pada bait ketujuh. Bunyi-bunyian tersebut sesuai dengan penggambaran laut yang tengah diterpa badai.
Pada bait kedelapan, ada perpaduan bunyi konsonan (aliterasi) bunyi n pada kata menelan, getaran, jadikan, kedahsyatan, dan ketenangan. Bunyi sengau pada kata gelombang, sendiri, ketenangan, tenang, hilang, dan pasang menambah merdu bunyi yang dihasilkan.
Pada bait kesembilan, adanya repetisi pada kata mana menghasilkan bunyi yang padu dalam keseluruhan bait.
Pada bait terakhir, terdapat aliterasi bunyi m pada baris pertama pada kata malam, kelam, mencat, dan hitam. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata malam, kelam, mencat, hitam bintang, pantai, dan senja.

2. LAPIS ARTI

Lapis arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 17). Lapis arti digunakan untuk memaknai puisi secara lebih lengkap dengan membuat sebuah puisi dengan bahasa yang padat menjadi sebuah prosa yang lebih jelas menceritakkan isi puisi. Kegiatan memprosakan puisi lazim disebut pharaphrase.
Dalam bait pertama diceritakan seorang gadis yang berani berkeliaran di tepi pantai pada waktu senja. Gadis itu sedang mencari hakikat kebebasan dan jati dirinya sebagai seorang remaja. Kemudian si aku mengajak dara untuk pulang.
Dalam bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan angin malam yang menghamburkan pasir, dan menerpa gelombang, juga meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara sampai menemukan apa yang ia cari, yakni hakikat dari sebuah kebebasn yang baru saja ia rasakan di pantai.
Dalam bait ketiga aku merasakan rambutnya yang lepas terurai dihempas angin. Aku bertanya pada dara apa gerangan yang ia cari di laut dingin di pantai yang asing. Sekali lagi aku membujuk dara agar turut pulang bersamanya.
Dalam bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari aku. Dara ingin bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan hatinya. Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angin yang berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam bait kelima aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis (dara anak berani) dan menakuti kalau hujan badai akan segera turun dan apabila dara tidak segera pulang sekarang, ia akan tersesat karena suasana semakin gelap (nanti semua gelap, kau hilang jalan).
Dalam bait keenam dara bukannya menuruti kata-kata aku justru malah menari di tepi pantai menirukan seekor elang yang terbang bebas melintasi gelombang pasang ketika senja disaat pantai mulai tidak terlihat (ketika senja pasang, ketika pantai hilang). Si dara menirukan gerakan elang terbang yang melenggang ke kiri dan kekanan sambil merentangkan kedua tangannya.
Di bait ketujuh aku kembali memperingatkan dara bahwa laut mulai dihempas badai (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang yang semakin besar (lihat, gelombang membuas berkejaran). Untuk yang terakhir kalinya si aku mengajak dara pulang.
Di bait kedelapan dara tetap keras kepala dan tidak mengindahkan ajakan si aku. Dara justru berkata bahwa ia sendiri adalah bagian dari getaran gelombang, yang menciptakan kedahsyatan air pasang, juga ketenangan air laut saat surut. Ia begitu asyik bermain hingga dara tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah hilang ditelan gelombang hingga kepalanya berada di bawah buih busa dan lumut laut.
Di bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang ditelan gelombang.
Di bait terakhir, si aku mertapi kematian dara di bawah malam yang kelam oleh mendung hingga bintang-bintang kehilangan cahayanya. Aku mencari dara di pantai, namun hanya kehampaan yang aku temui.

3. LAPIS KETIGA

Lapis berikutnya adalah lapis ketiga. Lapisan ini muncul setelah menganalisis lapis artis arti. Wujud dari lapis ketiga ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku dan dunia pengarang. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18). Dalam sajak Datang Dara Hilang Dara, lapis itu berupa:

a.) Objek-objek yang dikemukakan antara lain : dara, pantai, senja, angin, malam, rambut, pasir, gelombang, laut, kalbu, bintang, bayu, lagu, tubuh, dan sinar/cahaya.
b.) pelaku atau tokoh : si aku dan dara
c.) latar waktu : saat senja beranjak malam ketika langit sedang mendung dan berangin.
d.) latar tempat : pantai senja yang sedang mendung dan berangin dan tidak ada cahaya.
e.) Dunia pengarang :
Dara, seorang gadis yang mengembara mencari hakikat kebebasan di pantai senja. Si aku berusaha membujuk dara agar mau pulang, namun dara menolak. Ia menikmati kebebasan yang ia dapatkan melalui angin malam yang berhembus diantara pasir dan gelombang laut dan sesekali membelai rambutnya. Dara tidak akan pulang sebelum menemukan apa yang ia cari. Si aku bertanya apa gerangan yang sedang dara cari, aku mengajak dara pulang. Dara menolak. Ia ingin bernyanyi di pantai di bawah bintang-bintang dan diantara hembusan angin. Ia ingin bernyanyi sebebas bebasnya. Si aku tidak menyerah membujuk dara untuk pulang. Si aku juga merayu dara dengan menyebut dara anak yang berani, dan mengatakan langit mendung, nanti bila gelap dara akan tersesat mencari jalan pulang. Namun dara tetap menolak, ia justru semakin menjadi jadi dengan bermain-main menirukan elang yang sedang terbang diatas gelombang ketika laut pasang di kala senja. Si aku tetap tidak menyerah dan tetap membujuk dara pulang, dan menakuti dengan berkata laut akan diterjang badai, gelombang pun semakin besar. Dara menolak dan mengandaikan dirinya sendiri adalah gelombang. Hingga di antara kedahsyatan air pasang, tubuhnya hanyut hingga kepalanya tenggelam di bawah lumut. Dara hilang ditelan gelombang. Si aku mencari dengan putus asa bayang ramping tubuh dara. Dalam keadaan putus asa, si aku mencari dara, di bawah malam yang gelap tanpa bintang-bintang,si aku mencari dara di pantai senja yang beranjak malam. Namun dara tidak ada. Dara mati ditelan gelombang.

1. LAPIS KEEMPAT

Lapis keempat adalah lapis pembentuk makna dalam sajak, lapis ‘dunia’ yang tidak perlu dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18-19).
Dunia yang tidak perlu dinyatakan tetapi sudah implisit tampak sebagai berikut:
Dara adalah seorang gadis yang sendirian (dara yang sendiri) yang mencari kebebasan di pantai kala senja.
Di bait ketiga si aku mengajak dara pulang. Namun ajakan aku ditolak oleh dara. Si aku membujuk dengan mengatakan laut akan dihantam badai dan mengajak dara pulang agar nanti tidak tersesat.
Di bait keempat menceritakan penolakan dara yang justru malah bermain-main menirukan gerakan seekor elang yang tengah terbang.
Di bait ketujuh, menyatakan kegelisahan si aku karena bujukannya mengajak dara pulang tidak berhasil sentara laut akan diterjang badai.
Di bait kedelapan menyatakan dara tetap menolak dan teguh pada pendiriannya hingga akhirnya ia hilang ditelan gelombang ( atap kepalaku hilang di bawah busah dan lumut).
Di bait kesembilan dan kesepuluh, menyatakan kegagalan si aku dalam membujuk dara pulang hingga akhirnya dara mati ditelan gelombang.




5. LAPIS KELIMA

Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 19).
Dalam sajak ini, lapis itu berupa pencarian makna akan kebebasan yang ditunjukkan oleh tokoh dara. Dalam pencariannya akan kebebasan tersebut, seringkali manusia hanya menurutkan egonya saja, tanpa ambil peduli apakah jalan yang ia tempuh tersebut baik untuknya ataukah justru malah merugikan dirinya. Memang ada kalanya manusia menginginkan saat-saat dimana dirinya merasakan kebebasan akan kungkungn dan belenggu norma-norma yang seringkali dirasa terlalu ketat mengikat dan membatasi kebebasan. Namun dalam pencarian akan hakikat kebebasan itu, manusia hendaknya tidak melupakan batasan-batasan yang ada, sehingga tidak terjerumus oleh kebabasan yang diluar batas yang justru akan merugikan diri sendiri. Namun \manusia seringkali tidak peduli terhadap nasihat-nasihat orang-orang di sekitarnya yang peduli kepadanya dan tetap menusruti hawa nafsunya hingga akhirnya binasa oleh egonya.

Kamis, 17 Maret 2011

Sejarah Drama Dunia

Sejarah Drama di Dunia


1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Drama terlebih dahulu berkembang di dunia barat yang disebut drama klasik pada zaman Yunani dan Romawi. Pada masa kejayaan kebudayaan Yunani maupun Romawi banyak sekali yang bersifat abadi, terkenal sampai kini. Semua ini sekedar informasi untuk memperluas pengetahuan kita di Indonesia khususnya mahasiswa tentang perkembangan drama di luar Indonesia.

2. Sejarah Drama di Dunia
2.1. Drama Klasik
Yang disebut drama klasik adalah drama yang hidup pada zaman Yunani dan Romawi. Pada masa kejayaan kebudayaan Yunani maupun Romawi banyak sekali karya drama yang bersifat abadi, terkenal sampai kini.

a. Zaman Yunani.
Asal mula drama adalah Kulrus Dyonisius. Pada waktu itu drama dikaitkan dengan upacara penyembahan kepada Dewa Domba/Lembu. Sebelum pementasan drama, dilakukan upacara korban domba/lembu kepada Dyonisius dan nyanyian yang disebut “tragedi”. Dalam perkembangannya, Dyonisius yang tadinya berupa dewa berwujud binatang, berubah menjadi manusia, dan dipuja sebagai dewa anggur dan kesuburan. Komedi sebagai lawan dari kata tragedi, pada zaman Yunani Kuno merupakan karikatur terhadap cerita duka dengan tujuan menyindir penderitaan hidup manusia.
Ada 3 tokoh Yunani yang terkenal, yaitu: Plato, Aristoteles, dan Sophocles. Menurut Plato, keindahan bersifat relatif. Karya karya seni dipandanganya sebagai mimetik, yaitu imitasi dari kehidupan jasmaniah manusia. Imitasi itu menurut Plato bukan demi kepentingan imitasi itu sendiri, tetapi demi kepentingan kenyataan. Karya Plato yang terkenal adalah The Republic.
Aristoteles juga tokoh Yunani yang terkenal. Ia memandang karya seni bukan hanya sebagai imitasi kehidupan fisik, tetapi harus juga dipandang sebagai karya yang mengandung kebijakan dalam dirinya. Dengan demikian karya-karya itu mempunyai watak yang menentu.
Sophocles adalah tokoh drama terbesar zaman Yunani. Tiga karya yang merupakan tragedi, bersifat abadi, dan temanya Relevan sampai saat ini. Dramanya itu adalah: “Oedipus Sang Raja”, “Oedipus di Kolonus”, dan “Antigone”. Tragedi tentang nasib manusia yang mengenaskan.
Tokoh Lain yang dipandang tokoh pemula drama Yunani adalah Aeschylus, dengan karya-karyanya: “Agamenon”, “The Choephori”, “The Eumides”. Euripides yang hidup antara 485-306 SM, merupakan tokoh tragedi, seperti halnya Aeschylus. Karya-karya Euripides adalah: Electra, Medea, Hippolytus, The Troyan Woman dan Iphigenia in Aulis.
Jika Aeschylus, Sophocles, dan Euripides merupakan tokoh strategi, maka dalam hal komedi ini mengenal tokoh Aristophanes. Karya-karyanya adalah : The Frogs, The Waps, dan The Clouds.

Bentuk Stragedi Klasik, dengan ciri-ciri tragedi Yunani adalah sebagai berikut :
1. Lakon tidak selalu diakhiri dengan kematian tokoh utama atau tokoh protagonis.
2. Lamanya Lakon kurang dari satu jam.
3. Koor sebagai selingan dan pengiring sangat berperan (berupa nyanyian rakyat atau
pujian).
4. Tujuan pementasan sebagai Katarsis atau penyuci jiwa melalui kasih dan rasa takut.
5. Lakon biasanya terdiri atas 3-5 bagian, yang diselingi Koor (stasima). Kelompok Koor
biasanya keluar paling akhir (exodus).
6. Menggunakan Prolog yang cukup panjang.

Bentuk pentas pada zaman Yunani berupa pentas terbuka yang berada di ketinggian. Dikelilingi tempat duduk penonton yang melingkari bukit, tempat pentas berada di tengah-tengah. Drama Yunani merupakan ekspresi religius dalam upacara yang bersifat religius pula.
Bentuk Komedi, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Komedi tidak mengikuti satire individu maupun satire politis.
2. Peranan aktor dalam komedi tidak begitu menonjol;
3. Kisah lakon dititikberatkan pada kisah cinta, yaitu pengejaran gadis oleh pria yang
cintanya ditolak orang tua/famili sang gadis.
4. Tidak digunakan Stock character, yang biasanya memberikan kejutan.
5. Lakon menunjukan ciri kebijaksanaan, karena pengarangnya melarat dan menderita, tetapi kadang-kadang juga berisi sindiran dan sikap yang pasrah

Budaya Melayu Bangka

Melayu yang identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang solid. Agaknya Bahasa menjadi lebih dulu muncul sebagai salah satu identitas budaya melayu, ia lahir seiring dengan perkembangan budayanya. Bahasa melayu menjadi lingua franca di Nusantara, kini menjadi bahasa Indonesia. Bahasa itu sudah menyebar lewat imperium Sriwijaya, Imperium Melayu Jambi, bahkan Pagaruyung. Namun imperium itu pudar oleh serangan Majapahit sampai 1365, Serangan tersebut menyebabkan Parameshawara hijrah dari Palembang ke Malaka, Tetapi bahasa melayu itu sudah berintegrasi ke wilayah yang pernah diduduki Sriwijaya.

Parameshwara telah membawa bahasa dan adat istiadat tersebut hijrah ke Malaka kemudian mendirikan imperium Melayu Malaka tahun 1400 maka penyebaran bahasa, adat istiadat bahkan Agama Islam. Penyebaran budaya melayu ini mulai dari Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya hingga Patani (Thailand) penyebaran bahasa ini yang kemudian oleh orang barat, bahwa orang yang mendiami Nusantara ini di sebut orang melayu.

Penyebaran imperium Melayu Malaka itu, di abad berikutnya membentuk kesultanan Islam seperti di Siak, Pontianak, Johor, dan lainnya. termasuk wilayah kepulauan Riau. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Sultan Iskandar Syah dari Malaka mengungsi dan mendiami Pulau Bintan dengan pusat kebudayaannya Tanjungpinang.

Sampai kemudian sekitar tahun 1513, wilayah melayu Jambi dan Palembang dikuasai oleh Raden Patah dari Demak. Raden Patah membawa pengaruh Jawanya, hingga sistem kesultanan Islam tumbuh di wilayah “melayu” Sumatera ini hingga dekade berikutnya.

Bagaimana di Bangka Belitung? Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putri Ki Ronggo udo, yaitu penguasa Belitung sebelumnya.

Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada keIslaman. Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang lainnya.

Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung. Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “ pesta lebaran” yang di rayakan secara sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta lebaran” serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan acara “Perang Ketupat”.

Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan terebut.

Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang lahir, disambut dengan membaca doa islami dan pembacaan syair marhaban.

Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ini memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.

Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.

Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.

Misalnya Mentok yang fonetis bahasanya cenderung ke Bahasa Semenanjung Malaya, karena kita mengenal wilayah ini banyak dipengaruhi oleh Johor dan Siantan; setelah Sultan Mahmud Badaruddin mengungsi ke Siantan. Dan kemudian Sultan Mahmud Badaruddin menyerahkan Mentok pada Wan Akup dari Siantan, atas jasa bantuan angkatan perang Siantan untuk menduduki Palembang yang di kuasai Ratu Anum Kamaruddin. Hanya bahasa wilayah Belinyu kemiripan fonetisnya sama dengan Palembang. Dan wilayah Bangka lainnya yang menjadi begitu beragam fonetikanya.

Belitung lebih dekat ke Kalimantan maka dominan bahasa penduduknya lebih dekat pula dengan wilayah tersebut namun perbedaannya fonetikanya tak begitu signifikan, bunyi bahasa itu hanya dibedakan cengkoknya saja. Hingga irama dari fonetis bahasanya terdengar memiliki perbedaan alunan, berbedaan ini misalnya bisa disimak pada bunyi bahasa asli penduduk wilayah Sijuk dengan penduduk wilayah Belantu. Sedang wilayah lainnya hampir sama dan tak ada perbedaan yang menonjol.

Berbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada setiap kunjungan ke rumah-rumah masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah untuk tinggal dan menetap.

Sayangnya, Dominasi pendatang yang hanya sekedar menjadikan Bangka Belitung sebagai ladang “matapenghidupan” selalu tak memperhatikan budaya setempat hingga tak jarang ada benturan sosial yang berujung pada pertikaian. Namun hal tersebut tidak selalu menjadi bahaya laten karena budi dan bahasa masyarakat Bangka Belitung yang tercermin dalam karakter mereka selalu dapat bersikap moderat pada pendatang.

Bahasa Melayu

Tanah asal-usul penutur bahas Melayu
Ada tiga teori yang dikemukakan tentang asal-usul penutur bahasa Melayu (atau bentuk awalnya sebagai anggota bahasa-bahasa Dayak Malayik). Kern (1888) beranggapan bahwa tanah asal penutur adalah dari Semenanjung Malaya dan menolak Borneo sebagai tanah asal. Teori ini sempat diterima cukup lama (karena sejalan dengan teori migrasi dari Asia Tenggara daratan) hingga akhirnya pada akhir abad ke-20 bukti-bukti linguistik dan sejarah menyangkal hal ini (Adelaar, 1988; Belwood, 1993) dan teori asal dari Sumatera yang menguat, berdasarkan bukti-bukti tulisan. Hudson (1970) melontarkan teori asal dari Kalimantan, berdasarkan kemiripan bahasa Dayak Malayik (dituturkan orang-orang Dayak berbahasa Melayu) dengan bahasa Melayu Kuna, penuturnya yang hidup di pedalaman, dan karakter kosa kata yang konservatif.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallaw. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu
Bahasa Melayu Kuna (abad ke-7 hingga abad ke-13)
Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui kreolisasi.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.


SEJARAH PERTUMBUHAN BAHASA MELAYU
Terbentuknya  bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang ,bahkan lebih panjang dari usia bangsa dan negara Republik Indonesia .
Sejak masa kerajaan Sriwijaya pada masa Melayu kuno sampai diproklamasikannya bahasa Indonesia sebagai resmi dan nasional negara, bahasa Melayu masih memperbarui dan menambah kosakata dengan menerima kosakata bahasa asing dan daerah. Dengan demikian, bahasa Indonesia masih hidup dan bergerak sampai pada akhirnya menjadi bahasa dunia/internasional.
Awal terbentuknya bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini adalah kedatangan para pedagang, misionaris (zending), peneliti penulis dari India, Arab, Belanda, Portugis, atau etnis lain non-Melayu ke wilayah Nusantara dengan berbagai keperluan. Di antara mereka ada berniat menjual dan membeli sesuatu untuk dijual di negara asal mereka, ada pula yang berkepentingan menyebarkan agama, serta ada pula yang berkait dengan keilmuan, seperti penelitian, pengamatan, dan/ atau mengadakan riset. Mereka menggunakan bahasa Melayu yang mereka pelajari secara praktis. Sebelum masyarakat di Kepulauan Nusantara ini mengenal bahasa Indonesia, mereka telah mengenal dan menggunakan bahasa Melayu yang pada waktu itu sudah menjadi lingua-franca.Oleh karena sudah dipergunakan sebagai bahasa pergaulan perdagangan, dengan sendirinya bahasa Melayu sudah dikenal luas oleh penduduk dan menyebar ke berbagai pelosok Nusantara. Dengan memerhatikan keadaan seperti itu, para pedagang, musafir, para peneliti-penulis, dan para misionaris harus menguasai bahasa Melayu terlebih dulu sebelum mengadakan perjalanan dan perniagaan ke Nusantara.
Harus disadari pula, mereka belajar bahasa Melayu hanya untuk memudahkan usaha- usaha mereka di tanah Melayu ini. Mereka tidak menyadari bahwa ketika proses perhubungan interaksi-sosial itu terjadi pertukaran informasi budaya, baik budaya asli penutur maupun budaya lokal, adat-istiadat, termasuk kosakata yang tidak terdapat dalam bahasa masing-masing. Salah satu pertukaran informasi ini, adalah terjadinya akulturasi yang secara tidak langsung berdampak pada penggunaan bahasa.
Bahasa lokal (Melayu) tentunya tidak bisa mewakili semua keinginan, perasaan, pendapat, karakter budaya penutur yang datang dari luar, dan sebagainya. Sebagai akibat kekurangan ini, bahasa Melayu dengan serta merta membuka diri untuk menerima kosakata baru, baik melalui pemungutan/penyerapan, menyerap dengan mengadakan perubahan, atau menerjemahkan secara kreatif bahasa asing untuk melengkapi perbendaharaan kosakatanya.
Kelebihan bahasa Melayu adalah salah satu bahasa di muka bumi ini yang sangat terbuka menerima unsur lokal (daerah yang dimasukinya) dan asing. Keterbukaan ini tidak saja mampu dan mau menyerap/memungut kosakata bahasa asing, tetapi bahasa Melayu mampu pula membentuk kosakata baru sebagai dampak pertemuan bahasa asing dan bahasa asli.
Ini merupakan karakter bahasa Melayu yang memang sejak dulu telah membentuk diri dalam sejarah yang sangat panjang. Berbagai ahli antropologi budaya dan bahasa menyatakan bahwa penutur-penutur bahasa Melayu berasal dari golongan Austronesia yang datang ke Nusantara sejak 2.500 Sebelum Masehi dari daerah Yunnan dan secara bertahap menduduki wilayah Asia Tenggara. Golongan pertama ini disebut Melayu-Proto. Kemudian, pada kira-kira tahun 1500 Sebelum Masehi, datang golongan kedua dari Asia Selatan (India) menduduki daerah pantai dan tanah lembah di Asia Tenggara yang disebut Melayu-Deutro.
Beberapa sumber menyatakan bahwa penyebutan pertama secara tertulis istilah Bahasa Melayu sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun 1yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang masyhur pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Bahasa-bahasa yang dibawa moyang dari Yunnan ini kemudian mengalami percampuran, baik dengan bahasa lokal maupun bahasa ibu kaum pendatang, sehingga mengalami perubahan dari kosakata dan struktur kalimat, dan perkembangan yang bersifat majemuk menjadi sistem bahasa Melayu terawal, yaitu bahasa Melayu kuno. Tulisan yang dipergunakan adalah huruf/aksara Sansekerta- Jawa Kuno, yaitu tulisan (huruf/aksara) Pallawa.
Bahasa Melayu kuno yang ada di dalam masyarakat itu sendiri terbagi menjadi tiga tataran atau kelompok utama, yaitu
(1) Melayu tinggi, yaitu bahasa Melayu sebagaimana dipakai dalam kitab sejarah Melayu, yang dipergunakan oleh kaum bangsawan, para cerdik-cendekia untuk menuliskan ilmu dan pengetahuannya, yang dipakai oleh para sastrawan untuk menulis karya sastra, dan orang-orang penting di lingkungan kerajaan yang berhubungan dengan kekerabatan kebangsawanan. Jadi, bahasa ini bersifat istanasentris yang biasa ditemukan di dalam karya sastra yang berbentuk hikayat seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Muhammad Ali Hanafiah, Hikayat Amir Hamzah, Bustanus Salatin, Sulalatus Salatin, Sejarah Melayu, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Hang Tuah, dan Tajus Salatin. Bentuk yang lebih formal, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya , dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.
(2) Melayu rendah, yaitu bahasa Melayu pasar atau pula bahasa Melayu campuran. Bahasa Melayu rendah atau pasar ini digunakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat dan mengabaikan status atau golongan penutur. Bahasa Melayu rendah atau pasar ini juga dipergunakan oleh para pedagang asing, pelancong, dan misionaris ketika mereka mendatangi kawasan Nusantara. Perkembangan perbendaharaan kosakata bahasa Melayu pasar ini sangat pesat sesuai dengan tingkat kebutuhan penutur bahasa. Para saudagar, peneliti-penulis, misionaris (zending), dan sebagainya berkecenderungan menggunakan kelas bahasa ini karena masyarakat tempat mereka belajar menggunakan kelas bahasa ini.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Melayu Tinggi. Pemerintah Belanda berusaha meredamnya dengan memromosikan bahasa Melayu Tinggi dan melarang bahasa Melayu Pasar, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Dengan demikian, Penerbit Balai Pustaka perlu mengadakan sensor ketat terhadap karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu. Tetapi bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diadopsi oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia .
(3) Melayu daerah, yaitu bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh dialek-dialek tertentu. Bahasa Melayu yang sudah banyak bercampur dengan bahasa Arab, Cina, atau dipengaruhi tradisi lokal si penutur. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah bahasa Melayu Minangkabau yang dipergunakan oleh para sastrawan Angkatan Pujangga Baru (tahun 1930-an). Kelas bahasa ini tidak berkembang meluas, namun hanya bersifat kedaerahan. Namun demikian, peran mereka dalam perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sangatlah besar melalui karya-karya sastra mereka.
Proses terbentuknya bahasa Melayu yang dipergunakan di berbagai daerah di Nusantara ini sebenarnya sangat panjang dan berbelit-belit. Para ahli bahasa (linguis), arkeolog, antrolopog, dan kompetensi-kompetensi lain belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul bahasa Melayu. Namun demikian, ada pendapat yang bpopular yang menyatakan bahwa pentutur-pentutur bahasa Melayu berasal daripada golongan Austronesia yang datang sejak 2.500 Sebelum Masehi dari daerah Yunnan dalam beberapa bentuk gelombang pergerakan manusia dan menduduki wilayah Asia Tenggara.
Golongan pertama ini dipanggil Melayu Proto. Kemudian,pada kira-kira tahun 1500 SM, datang golongan kedua dari asia selatan ( India ) menduduki daerah pantai dan tanah lembah di Asia Tenggara yang dipanggil Melayu Deutro.
Diagram rumpun bahasa Austronesia
1.Taiwanik
a..bahasa At ayalik
b. bahasa Tsouik
c. bahasa Paiwanik
d. bahasa Taiwanik Barat
e. bahasa Taiwanik yang
terpengaruh bahasa Tiong
2.Melayu PolineSia
Barat : Bahasa Bor neo  ,Philipina Utara ,Philipina Tengah ,Philipina Selat an ,Mindanao Selatan .Sama-Baj au ,Sulawesi                       bahasa Sundik : bahasa Jawa, bahasa Melayu
(dan bahasa Indonesia),
bahasa Sunda, bahasa Madura,bahasa Aceh, bahasa Bat ak dan bahasa Bali (dengan jumlah penut ur t erbesar)
Tengah : Bima-Sumba , Maluku tengah , Maluku tenggara ,Timor-Flores
Timur : Halmahera Salatan , Papua Barat LAut.

Kuatnya bahasa melayu di Bangka
Bahasa Melayu Kuno memiliki keunikan perkembangan yang luar biasa, yaitu penyesuaian antara bahasa Melayu terhadap bahasa Sanskerta. Hal ini disebabkan oleh adanya gelombang besar kedatangan pedagang dan misionaris dari India pada awal abad ke-4. Para misionaris dan pedagang yang menggunakan bahasa Sansekerta menyebarkan keyakinan mereka dan mulai memelajari bahasa Melayu untuk menulis dan mengalihbahasakan kitab-kitab cerita dan keagamaan, di samping untuk tujuan praktis, yakni berkomunikasi dengan penduduk lokal di samping menyebarkan keyakinan mereka.
Pada waktu mengadakan komunikasi antara penutur bahasa asli (Melayu kuno) dengan pendatang terjadilah pertukaran berbagai informasi, baik yang berciri kebahasaan, politik, budaya, maupun lainnya. Tentu saja, berbagai informasi yang disampaikan oleh kaum pendatang tidak dapat diterima secara penuh oleh penduduk lokal. Demikian pula sebaliknya. Di sinilah terjadi proses pengalihan informasi dan pencampuran, yakni proses pembauran antara bahasa lokal dengan bahasa ibu penutur yang datang dari luar. Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan bentuk (tipologi) fonologi (sistem bunyi) bahasa–bahasa rumpun Austronesia tergolong sederhana. Para penutur bahasa ini biasanya tidak menyukai sukukata-sukukata tertutup dan menghindari gugusan-gugusan konsonan (kluster, misalnya padaIndische Sociaal
Keunikan atau kehebatan yang paling menonjol dari bahasa Melayu adalah sifatnya yang terbuka untuk menerima kosakata bahasa asing. Bahasa Melayu membuka diri untuk dilengkapi tuturannya dan kosakatanya sehingga dianggap sudah memenuhi unsur keutuhan pesan. Sedikit demi sedikit bahasa Melayu memungut kosakata lokal dan asing. Dengan demikian kosakata bahasa Melayu bertambah dan semakin mantab sebagai alat komunikasi. Jauh sebelum dikenal bahasa Melayu dengan tulisan Pallawa, di Nusantara ini sudah mengenal beragam aksara. Aksara-aksara yang dipergunakan di Nusantara merupakan turunan dari Aksara Pallawa yang berasal dari India bagian selatan. Aksara Pallawa sendiri merupakan turunan dari Aksara Brahmi. Aksara Brahmi ini adalah cikal-bakal semua aksara di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara ini berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacarawaprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada
 
yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar Abad IV.
Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, maka pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya Aksara Sunda Baku.
Kosakata dan perkembangan bahasa Melayu ini tidak seperti sekarang. Berbeda dengan zaman sekarang yang sudah bisa mengandalkan teknologi rekaman digital, di zaman dulu para leluhur kita mengekspresikan keinginan jiwanya dengan berbagai bentuk dan cara-cara yang masih dianggap tradisional dan primitif atau sekurang- kurangnya konvensional. Cara-cara tradisional dan primitif untuk mengekspresikan jiwa itu bisa berbentuk, antara lain
a. Pahatan-pahatan batu, atau logam, biasa disebut prasasti1 atau Yupa2, dan Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, dimana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajari prasasi disebut Epigrafi. Kata prasasti berasal dari bahasa Sansekerta. Secara leksikal berarti “pujian”. Namun dalam perkembangannya dianggap sebagai “piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan”. Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut inskripsi, sementara dikalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.
Berbagai peristiwa yang berkait dengan kehidupan politik (kebijaksanaan raja), kebudayaan, pemerintahan, keagamaan, dan kesusastraan biasanya yang menjadi latar belakang mengapa catatan-catatan itu dibuat. Tidak jarang pula prasasti atau batu bertulis berisi perintah raja, permintaan pendeta, atau bahkan kutukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dianggap berkhianat kepada raja atau kerajaan.
Hal ini yang membuka kesempatan kepada para pendatang maupun penduduk local memergunakan bahasa Melayu. Bukti bahwa bahasa Melayu sudah menjadilingua- francadi zaman Sriwijaya adalah ditemukannya berbagai prasasti. Di antaranya adalah Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi (686 Masehi atau 608 çaka) yang berisi permohonan kepada Yang Mahakuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para pengkhianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Prasasti ini juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Nama Sriwijaya sendiri terpahat pada prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan M. Bratenburg, seorang berkebangsaan Belanda, pada 29 November 1920 di Kedukan Bukit, Sumatera Selatan, di tebing Sungai Tantang. Batu prasasti tersebut berukuran 46 x 80 cm di temukan di Sungai Tatang di Sumatera Selatan yang berangka tahun 683 Masehi atau 605 Saka.
Prasasti-prasasti yang ditemukan itu memuat bahasa dan tulisan Melayu Kuno yang bercampur dengan bahasa Sansekerta. Ini membuktikan bahwa jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berdiri, bahasa Melayu kuno sudah menjadi bahasa pergaulan, perniagaan, alat komunikasi antarsuku bangsa, dan alat penyebaran agama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Melayu memiliki fleksibilitas yang tinggi, sehingga pemelajar asing dapat dengan mudah memelajari bahasa Melayu.
Bahasa Melayu yang berkembang di zaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya mendapat kehormatan dipergunakan sebagai bahasa resmi kerajaan. Hal ini dimungkinkan karena letak strategis kerajaan yang berada di Selat Malaka sehingga bahasa Melayu dipelajari oleh para saudagar yang akan mengadakan perniagaan atau yang lainnya di Nusantara. Para pedagang yang berdatangan dari barat dan timur serta dari Kepulauan Nusantara mengadakan transaksi sudah tentu harus dengan menggunakan bahasa Melayu.
KELAHIRAN BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia memiliki pengertian ‘bahasa yang dipergunakan oleh bangsa Indonesia ’. Kapan bangsa Indonesia lahir? Mudah sekali untuk menjawabnya, yaitu ketika organisasi kepemudaaan yang bertebaran di seluruh wilayah Nusantara ini bersatu-padu dan berikrar pada hari yang sangat bersejarah bagi rakyat dan bangsa Indonesia , Sumpah Pemuda. Di hari itulah bangsa Indonesia secarade facto ada. Kata Indonesia sendiri memiliki sejarah yang cukup unik. Seorang ahli bahasa, Logan , menulis artikel yang berjudulThe Ethnology of the Indian Archipelago. Ia lebih setuju nama "Indunesia" ciptaan Earl, tetapi huruf "U" diganti dengan huruf "O" agar ucapannya lebih baik. Muncullah nama " INDONESIA " yang menurut Logan dibentuk dari dua kata, yaituIndia (=selatan) dannesia (=kepulauan). Paduan kata India-nesiamenimbulkan perubahan indiamenjadi indomenurut aturan sandi dalam ilmu bahasa. Logan juga menyatakan, "Untuk nama "Indian Archipelago" sebagai ajektif atau bentuk etnografis, Earl menganjurkan memakai istilah Etnografis Indunesiansdan menolak Melayunesian. Saya sendiri lebih suka istilah yang memakai istilah Geografis, Kepulauan Hindia.Indonesia merupakan sinonim terdekat denganIndian Island atauIndian Archipelago. Kita akhirnya menerima Indonesiansebagai Indian Archipelagodan Archipelagicserta Indonesianssebagai Indian Archipelaiansdan Indian Islanders.
Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam bahasa daerah yang dimilikinya memerlukan adanya satu bahasa persatuan guna menggalang semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan ini sangat penting dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi Indonesia . Kesadaran politis semacam inilah yang memunculkan gagasan pentingnya bahasa yang satu, bahasa persatuan, bahasa yang dapat menjembatani keinginan berbagai suku bangsa dan budaya di Indonesia saat itu.
Bangsa Indonesia adalah sekolompok suku bangsa yang berbeda warna kulit. Sumatera yang sudah berbaur dengan suku bangsa Yunan ( China ) dan Arab ada yang berkulit kuning tetapi ada pula yang berciri fisik orang Arab, khususnya di Aceh. Jawa yang didominasi India banyak yang berkulit sawo matang. Ternate, Ambon, Sumbawa , Bima, dan pulau-pulau di wilayah timur agak berbeda dengan Jawa dan Sumatera. Irian pun berbeda pula. Namun demikian, perbedaan-perbedaan itu mereka abaikan demi tujuan luhur, yaitu Indonesia Merdeka.
Alasan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional adalah sebagai berikut.
(1) Bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya dipakai sebagailingua franca (bahasa perantara atau bahasa pergaulan di bidang perdagangan), bahasa yang digunakan oleh para misionaris Hindu, Budha, Kristen, dan Islam dalam penyebaran agama di seluruh kota pelabuhan di Indonesia .
(2) Bahasa Melayu mempunyai struktur kalimat sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah dikembangkan pemakaiannya, dan mudah menerima pengaruh luar untuk memperkaya dan menyempurnakan fungsinya sebagai alat
komunikasi. Bahasa Melayu tidak mengenal bentuk ‘tenses’ dan ‘pronoun’
seperti bahasa Inggris, Belanda, atau Arab. Tidak pula serumit bahasa Jawa
yang mengenal perbedaan dan pembedaan pengguna serta penggunaannya.
(3) Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan perbedaan status sosial pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan sentimen dan perpecahan.
(4) Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain
untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
5) Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan golongan mayoritas di Republik Indonesia .
(6) Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
(7) Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis.
(8) Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia . Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia , Brunei , dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
(9) Bahasa Melayu adalah bahasa yang dinamis, dan dengan kedinamisannya itu bahasa Melayu terus mengembangkan diri dengan menerima dan/ atau menyerap kosakata dari bahasa asing maupun lokal.
Jadi, bahasa Indonesia terbukti mampu mengakomodasi kata-kata dari banyak bahasa, yaitu Arab, Belanda, Inggris, Latin, Perancis, Sansekerta, Spanyol, Tionghoa, Yunani dan lain lain
 

Minggu, 09 Januari 2011

SEPUTAR LINGUISTIK INDONESIA

PENGERTIAN SINTAKSIS

• Sintaksis berasal dari bahasa Yunani sun ‘dengan’ dan tattein menempatkan bersama-sama’. Sintaksis berarti “menempatkan kata-kata menjadi kelompok kata dan kelompok-kelompok kata menjadi kalimat”.
• Sintaksis adalah cabang linguistik yang memperlajari hubungan antarkata dan/atau antarkelompok kata dalam kalimat.

BAHAN DAN OBJEK SINTAKSIS

● Bahan penelitian sintaksis adalah kalimat.
● Objek penelitian sintaksis adalah hubungan antarkata dan/atau antarkelompok kata dalam kalimat.

JENIS SINTAKSIS

● Sintaksis klausal:
sintaksis yang bahannya adalah kalimat tunggal
● Sintaksis antarklausal:
sintaksis yang bahannya adalah kalimat majemuk
● Sintaksis subklausal:
sintaksis yang bahan penelitiannya adalah kelompok kata/frasa.

PENGERTIAN KALIMAT

Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat itu diucapkan dengan intonasi akhir yang diikuti kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan atau asimilasi bunyi atau proses fonologis lainnya. Dalam wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!); sementara itu di dalamnya disertakan pula ber¬bagai tanda baca seperti koma (,), titik dua (:), tanda pisah (─), dan spasi. Tanda ti¬tik, tanda tanya, dan tanda seru sepadan dengan intonasi akhir, sedangkan tanda baca lainnya sepadan dengan jeda. Spasi yang mengikuti tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru melambangkan kesenyapan.”
UNSUR PEMBENTUK KALIMAT

1. LAPIS
yaitu unsur pembentuk kalimat yang berupa rentetan fonem dan naik-turunnya atau titi nada yang ada di sepanjang bunyi-bunyi fonemis itu.
Lapis dibedakan menjadi dua, yaitu lapis segmental dan lapis suprasegmental. Lapis segmental adalah lapis lapis pembentuk kalimat yang berupa deretan fonem yang diucapkan secara beruntun sebagai "batang tubuh" kalimat. Lapis suprasegmental adalah titinada yang ada di sepanjang bunyi-bunyi fonemis itu
Contoh:

Warga Jawa di Suriname membantu kurban Merapi.


[LAPIS SEGMENTAL]
/warga jawa di surinamœ mәmbantu kurban mәrapi/

[LAPIS SUPRASEGMENTAL]

# 2 3 2 3 1 #

2.BAGIAN

yaitu unsur pembentuk kalimat yang berhubungan dengan lapis segmental. Bagian ini terdiri atas dua jenis, yaitu bagian inti dan bagian bukan inti. Bagian inti adalah pembentuk kalimat yang tidak dapat dihilangkan. Bagian bukan inti adalah pembentuk kalimat yang dapat dihilangkan tanpa merusak bagian sisanya.
Contoh:
Akibat erupsi Gunung Merapi, warga Magelang rugi Rp40 miliar.
BAGIAN BUKAN INTI BAGIAN INTI

3. KONSTITUEN
unsur berjenis segmental yang langsung membentuk kalimat.
Contoh:
KPK harus mengambil alih kasus Gayus.
Konstituen 1 Konstituen 2 Konstituen 3

LATIHAN 1:
Menurut Sdr. Bacaan berikut terdiri atas berapa kalimat? Masing-masing kalimat terdiri atas berapa bagian dan berapa konstituen? Sebutkanlah masing-masing
Sinar ultraviolet dapat mengurangi tingkat penyebaran tuberkulosis (TBC) di rumah sakit dan ruang tunggu pasien hingga 70 persen. Meskipun strain kuman telah kebal terhadap obat, bakteri itu dapat dinetralisasi oleh sumber cahaya kebiru-biruan. Bersin atau batuk menyebarkan bakteri tuberkulosis melalui udara ke pengunjung, tenaga kesehatan, dan pasien lain. Saat para pengunjung memadati ruang tunggu di rumah sakit, satu kali batuk atau bersin dapat menularkan bakteri itu ke sejumlah pasien.

SINTAKSIS KLAUSAL
● Sintaksis klausal adalah sintaksis yang membahas hubungan antarunsur atau antarkonstituen dalam kalimat tunggal.
● Bahan sintaksis klausal adalah KALIMAT TUNGGAL.
● Objek sintaksis klausal adalah fungsi sintaktis, kategori sintaktis, dan peran sintaktis.
PUSAT DAN PENDAMPING
● Kalimat tunggal terdiri atas konstituen-konsituen. Konstituen-konstituen itu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pusat dan pendamping.
● Pusat adalah konstituen kalimat yang menjadi pusat struktur kalimat tunggal. Sebagai pusat struktur, pusat ini menentukan pemunculan konstituen lain di dalam kalimat. Pusat dominan berupa kata kerja atau verba.
● Pendamping adalah konstituen yang pemunculannya ditentukan oleh konstituen pusat. Pendamping ini biasanya berupa kata benda atau nomina.
Contoh:
Pemerintah akan membangun rumah tinggal sementara
PENDAMPING1 PUSAT PENDAMPING2

untuk kurban Merapi.
PENDAMPING3

FUNGSI SINTAKSIS
● Objek penelitian sintaksis klausal adalah fungsi, kategori, dan peran sintaktis. Dalam hubungan ini, fungsi sintaktis merupakan tataran yang pertama, tertinggi, dan yang paling abstrak; kategori sintaktis merupakan tataran yang kedua dengan tingkat keabstrakan yang lebih rendah daripada fungsi sintaktis; dan peran sintaktis merupakan tataran yang ketiga dan terendah tingkat keabstrakannya jika dibandingkan dengan kedua tataran lainnya.
● Fungsi sintaktis adalah “tempat kosong” dalam struktur kalimat. Sebagai ”tempat kosong”, keberadaannya baru ada karena sedang digunakan sebagai tempat oleh pengisinya.
● Pengisi fungsi sintaktis ada dusa, yaitu bentuk (bahasa) yang tergolong dalam kategori sintaktis tertentu dan makna yang tergolong dalam peran sintaktis tertentu pula.
● Yang termasuk dalam tataran fungsi sintaktis Subjek (S), Predikat (P), Objek (O), Pelengkap (Pl), dan Keterangan (K).
● Dari kelima fungsi sintaktis, fungsi P merupakan fungsi yang paling penting karena keberadaannya dalam struktur kalimat berkedudukan sebagai pusat struktur fungsional kalimat yang bersangkutan. Akibatnya, hadir tidaknya fungsi-fungsi sintaktis yang lain dalam kalimat bergantung pada watak fungsi P itu.
● Fungsi sintaktis yang wajib hadir dalam kalimat karena dituntut oleh watak fungsi P disebut “fungsi inti”, sedangkan fungsi yang tidak wajib hadir disebut “fungsi bukan-inti" atau “fungsi luar-inti”. Yang fungsi inti adalah fungsi S, O, dan Pl, sedangkan fungsi K termasuk ke dalam fungsi bukan-inti

FUNGSI PREDIKAT (P)
● Fungsi Predikat (P) adalah fungsi sintaktis yang berkedudukan sebagai pusat struktur kalimat. Fungsi P itu dominan diisi oleh kata kerja atau verba. Contoh:
(5) Pemprov menganggarkan Rp100 miliar untuk recovery.
P
(6) Disdikpora mengusulkan shelter school.
P
FUNGSI SUBJEK(S)
● Fungsi Subjek (S) adalah fungsi sintaktis yang memiliki ciri:
(a) pengisinya tidak dapat dipertanyakan,
(b) pengisinya tidak dapat diganti oleh pronomina interogatif siapa atau apa,
(c) dalam kalimat bahasa Indonesia susunan yang biasa, biasanya letak kiri fungsi P. Contoh:
(7) Warga Code dievakuasi.
S
(8) Ratusan warga Dusun Pule pindah ke shelter box.
S
FUNGSI OBJEK (O)
● Fungsi Objek (O) adalah fungsi sintaktis yang kehadirannya di dalam kalimat dituntut oleh fungsi P yang diisi verba transitif pada kalimat aktif. Fungsi O itu memiliki ciri:
(a) dalam kalimat bahasa Indonesia senantiasa terletak
langsung di belakang fungsi P,
(b) pengisi¬nya dapat diganti dengan pronomina persona terikat -nya,
(c) dapat dipromosikan menjadi fungsi S dalam kalimat pasif.
Contoh:
(9) Handoko mengemasi kopor dan tasku.
O
(10) Warga membersihkan parit.
O
FUNGSI PELENGKAP (Pel)
● Fungsi Pelengkap (Pl) adalah fungsi sintaktis yang memiliki ciri: (a) tidak dapat dipromosikan menjadi S dalam kalimat pasif karena imbangan pasifnya tidak mungkin atau tidak mungkin menjadi fungsi S dalam kalimat pasif karena fungsi P-nya justru sudah pasif dan fungsi S-nya pun sudah ada.
(b) senantiasa terletak di belakang fungsi P, dan
(c) tidak dapat diganti dengan pronomina terikat -nya kecuali dalam kombinasi dengan preposisi selain di, ke, dari, dan akan. Contoh:
(12) Indonesia berdasarkan Pancasila.
Pl
(13) Ayah membelikan adik sepeda baru.
Pl

FUNGSI KETERANGAN (K)
● Fungsi Keterangan (K) adalah fungsi sintaktis yang letaknya di dalam kalimat dapat dipindah-pindahkan.
Contoh: Larno kuliah di UGM.

KATEGORI SINTAKSIS
● Kategori sintaktis adalah pengisi fungsi menurut bentuknya atau menurut jenis/golongan katanya.
● Kategori sintaktis dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:
1. kata kerja/verba (verb)
2. kata sifat/adjektiva (adjective)
3. kata keterangan/adverbia (adverb)
4. kata benda/nomina (noun), kata ganti/pronomina (pronoun),
dan kata bilangan/numeralia (numeral)
5. kata tugas: kata depan (preposition), kata sambung
(conjunction), interjeksi (interjection), dan partikel (particle)

PERAN SINTAKSIS
● Peran sintaktis adalah pengisi fungsi sintaktis menurut maknanya.
● Peran sintaktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu peran sintaktis pusat dan peran sintaktis pendamping.
● Peran sintaktis pusat adalah peran sintaktis yang berhubungan dengan konstituen pusat. Peran sintaktis pusat ini dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. tindakan/perbuatan.
2. proses
3. keadaan
● Peran sintaktis pendamping dapat dibedakan menjadi 9 jenis:
1. pelaku: konstituen yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan dalam predikat.
(15) Rahma mengikuti kuliah Pengantar Linguistik
2. sasaran/penderita: konstituen yang dikenai perbuatan yang
dinyatakan oleh predikat.
(16) Adik mengambilkan ayah air minum.
3. pengalam: konstituen yang mengalmi keadaan atau
peristiwa yang dinyatakan predikat.
(17) Mereka kehujanan di jalan.
4. peruntung: konstituen yang memperoleh manfaat atau
keuntungan daari peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan
dalam predikat.
(18) Ayah memberi saya uang.

5. alat: konstituen yang digunakan untuk melakukan perbuatan
yang dinyatakan dalam predikat.
(19) Dia memotong roti itu dengan pisau.
6. tempat: konstituen yang menyatakan tempat.
(20) Asrul tinggal di dekat rumah saya.
7. waktu: konstituen yang menyatakan waktu.
(21) Saya lahir pada tahun 1958.
8. atribut: konstituen yang menjelaskan unsur subjek atau
objek.
(22) Larno teman saya.
9. Hasil: konstituen yang menyatakan hasil dari prbuatan yang
dinyatakan dalam predikat.
(23) Patung itu terbuat dari kayu.


LATIHAN 2:
Analisislah kalimat-kalimat berikut menurut fungsi, kategori, dan peran sintaktisnya.

1. Plastik-plastik di beberapa stupa Candi Borobudur sudah dibuka.
2. Banjir dan badai melumpukan Kota Jakarta.
3. Anak saya ingin menjadi sastrawan.
4. Pada pameran Beber Seni ini, Mien Brojo memamerkan dua lukisan terbarunya.
5. Saat ini, yang paling membahagiakan Mien Brojo adalah melukis dan momong cucu.
6. Puluhan pecinta fotografi dari Yogyakarta dan sekitarnya dengan antusias mengikuti acara amal pengumpulan dana untuk korban bencana Gunung Merapi.
7. Pandasirat termangu-mangu sejenak.

SINTAKSIS KALIMAT/SINTAKSIS ANTARKLAUSAL
• Sintaksis kalimat/antarklausal adalah sintaksis yang bahan penelitiannya berupa kalimat majemuk.
• Kalimat majemuk adalah kalimat yang paling tidak terdiri atas dua klausa.
• Dalam kalimat majemuk, klausa merupakan konstituen pembentuk kalimat majemuk. Contoh:
(24) Saya ada di Bogor ketika Gunung Merapi meletus.
Klausa 1 Klausa 2

Kalimat majemuk dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat.

• Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang klausa-klausa pembentuknya mempunyai kedudukan setara. Masing-masing klausa itu berstatus sebagai klausa inti.
• (25) Ibu memasak dan ayah menyirami tanaman.
klausa inti klausa inti
• Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat majemuk yang klausa-klausa pembentuknya berupa klausa inti dan klausa tambahan.
• (26) Karena ada pajak impor,
klausa tambahan
harga sepatu buatan dalam negeri ikut naik.
klausa inti

SINTAKSIS SUBKLAUSAL/FRASA
• Sintaksis subklausal adalah sintaksis yang bahan penelitiannya berupa kelompok kata yang mengisi fungsi tertentu dalam kalimat.
• Kelompok kata yang mengisi fungsi tertentu dalam kalimat disebut frasa (phrase). Contoh:
(27) Pak Ali pergi ke kantor dengan naik sepeda motor.
frasa frasa frasa