Rabu, 13 April 2011

STRUKTUR KARAKTER DRAMA DAG DIG DUG

PENDAHULUAN
I. SEKILAS TENTANG PUTU WIJAYA
Putu Wijaya, pengarang yang produktif ini bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, Lahir di Puri Anom, Sarem, Kangin, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Sejak ,duduk di SMP mulai menulis cerita pendek dan ketika di SMA Singaraja mulai terjun ke dalam kegiatan sandiwara. Tamat SMA masuk Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, meraih gelar Sarjana Hukum jurusan Perdata di tahun 1969. Sebelum hijrah ke Jakarta tahun 1970, ia belajar melukis di ASRI dan drama di ASDRAFI Yogyakarta. Senagai pengarang yang produktif, telah banyak naskah drama yang ia ciptakan, diantarannya yakni Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), dan Gerr (1986). Kini ia aktif mengelola Teater Mandiri, sebuah bengkel teater yang ia dirikan di Jakarta.
II. TENTANG DRAMA DAG DIG DUG
Drama tiga babak Dag Dig Dug merupakan drama yang pernah menjuarai sayembara penulisan naskah lakon yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976. Drama ini berkisah tentang kehidupan sepasang suami istri pensiunan yang mengelola sebuah rumah indekosan dan memafaatkan uang sewa kos dan uang pensiunan sebagai nafkah hidup mereka di usia senja. Disamping itu, muncul tokoh Cokro yang pada babak pertama dan kedua tidak pernah terlihat, dan hanya terdengar suaranya saja. Baru pada babak ketiga ia menampakkan wajahnya. Lalu muncul juga tokoh Tamu I dan Tamu II, Tobing, serta Ibrahim.
Cerita bermula dengan perbincangan tokoh Suami dan Istri yang tengah membicarakan siapa itu Chaerul Umam. Merka yang merasa tidak mengenal Chaerul Umam tiba-tiba mendapat surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa Chaerul Umam telah meninggal karena kecelakan. Cerita berlanjut dengan datangnya dua orang tamu pria yang mengaku rekan Chaerul Umam di Jakarta. Mereka memberikan uang milik Chaerul Umam kepada Suami dan Istri yang ternyata isinya tidak sesuai dengan kwitansi yang tertera. Alhasil mereka mengembalikan uang tersebut setelah menambahkan uang tabungan mereka yang sedianya akan digunakan untuk biaya pemakaman mereka. Setelah menabung sekian lama, akhirnya mereka memliliki cukup uang lagi untuk membeli material yang diperlukan untuk pembangaunan makam. Disini muncul tokoh Ibrahim yang menjadi tukang yang bersedia membangun makam. Tokoh Tobing juga muncul sebagai orang yang ditawari rumah Suami dan Istri dengan harga murah. Dia akhir cerita, muncul tokoh Cokro yang walaupun tidak begitu dominan di awal dan tengah cerita, ternyata menjadi tokoh penentu di akhir cerita.








PEMBAHASAN
I. LANDASAN TEORI
Karakter merupakan salah satu struktur yang terdapat dalam sebuah drama selain plot dan tema. Unsur karakter (character) yang terdapat dalam drama lazim disebut tokoh. Tokoh merupakan unsur dominan dalam sebuah drama yang berfungsi sebagai sebagai penggerak alur dalam drama. Dengan adanya tokoh, maka alur dalam drama akan menjadi hidup dan mengalir. Penokohan merupakan salah satu sarana yang digunakan oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan alasan masuk akal terhadap sikap dan perilaku tokoh dalam sebuah drama. Tokoh merupakan bagian krusial dari sebuah drama karena dengan keberadaan tokoh makan akan terjalin sebuah alur yang akan menghidupkan latar dan rangkaian peristiwa.
Di samping itu, penokohan dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni watak datar (flat characterization) dan watak bulat (round characterization). Flat characterization atau watak datar ialah watak tokoh-tokoh cerita yang bersifat statis,datar,monoton,dan hanya menonjolkan satu watak tertentu saja yang dicerminkan selama jalannya cerita. Sedangkan watak bulat (round characterization) adalah watak tokoh cerita yang kompleks(bermacam-macam), seringkali mengalami perubahan sehingga tidak bisa diidentifikasikan apakah ia berwatak baik atau jahat.
Menurut Kernodle (1966:350-353), karakter tidak hanya mengacu pada dimensi fisik tokoh seperti pengenalan toko melalui umur, bentuk fisik, penampilan, kostum, tempo/irama permainan tokoh, namun juga dimensi psikologis tokoh seperti sikap batin tokoh. Sikap batin biasanya berkenaan pada gejala psikologis seorang tokoh seperti tokoh yang emosional, periang, pemurung, pendiam, humoris, bijak, cerewet, serius, pelupa, dan lain sebagainya.
Dalam menganalisis karakter, dikenal 3 metode, yakni metode analitik, metode dramatik, dan metode analitik-dramatik. Metode analitik merupakan metode penokohan dengan menguraikan langsung tokoh tokohnya. Metode dramatik ditempuh melalui percakapan, pikiran tokoh, atau tanggapan tokoh yang lain. Sedangkan metode analitik-dramatik merupakan metode kombinasi antara metode analitik dan dramatik (Tasrif dalam Harymawan, 1988:18)

II. KARAKTER DALAM DRAMA DAG DIG DUG
A. KARAKTER SUAMI
Karakter suami digambarkan sebagai seorang pensiunan yang juga bekas pemain tonil semasa mudanya dulu. Tokoh suami merupakan tokoh yang mendominasi hampir keseluruhan adegan bersama tokoh istri. Keduanya menjalin alur cerita melalui percakapan/ dialog antar tokoh. Si suami adalah seorang pria tua pensiunan bekas pemain tonil yang berumur antara 60-65 tahun. Dimensi fisik tokoh suami tidak begitu dijabarkan secara terperinci. Ia hanya digambarkan sebagai seorang pria tua yang menderita asma dan sakit encok di pinggangnya. Tokoh ini selalu duduk di beranda sambil minum kopi dan makan camilan bersama istrinya.
Dimensi psikologis karakter suami terwujud dari dialog dialognya dan juga reaksi tokoh lain atas ucapan dan tindakannya. Tokoh suami adalah seorang pria tua yang pelupa. Sifatnya itulah yang kerap menjadi pemicu pertengkaran dengan istrinya bahkan hanya karena masalah sepele sekalipun.
"Lupa, bagaimana ingat?"
"coba, coba! Nanti diberi tahu lupa lagi. Jangan biasakan otak manja". (Hal.7)

"Aku tidak ingat Tobingmu. Dan Chairul, Chairul... Tampangnya kumis? Hatinya baik? Tidak ingat. Sedih juga rasanya orang yang pernah kenal mati disana. Sedih lagi aku tak ingat apa-apa"(Hal 10)

Sifatnya yang pelupa juga membuatnya kerap salah dalam mendiskripsikan orang lain. Hal inil juga yang membuatnya tidak ingat terhadap Chaerul Umam.
"Tapi kulitnya bersih. Agak kukulan. Rambut panjang. Ingat sekarang. Dia tidak suka sepatu. Tidak suka dasi. Tidak suka jas. Makan pakai tangan. Tidak suka jam tangan. Ya!".
"Itu Tholib"(Hal.11)

"O, yang suka meludah di depan sana?"
"Itu Bahrum"(Hal.12)

Sebagai mantan pemain tonil, maka ia pandai dalam mengolah perasaannya sehingga dapat bereaksi dengan cepat terhadap perubahan suasana yang mendadak sekalipun. Maka tidak mengherankan juga bila tokoh Suami pandai bersandiwara.
"Ma'af, bapak memang pemain tonil waktu mudanya. Ia biasa memainkan sejarah, jadi cepat sekali sedih" (Hal.18)
Dari dialog-dialognya, dapat diketahui bahwa tokoh suami adalah seorang pria yang suka berkata kasas kepada istrinya. Si suami juga sering menyalahkan istri atas masalah yang menjadi penyebab pertengkaran mereka.

"Dengar goblok! Tidak bisa dikembalikan karena kurang. Kalau ikut saja pendapatku, kembalikan, kembalikan, sudah beres".(Hal.26)

"Tidak bisa! Aku mengerti maksudmu, pokoknya kau mau menyalahkan aku"(Hal.26)

Tokoh suami juga digambarkan memiliki sifat takabur sehingga ia merasa sok berani mati padahal kenyataannya ia juga takut mati.
"Jangan takabur!"
"Apa takabur?Hah! Apa!" (ia mencoba mendekati kain putih itu, tetapi langkahnya tertegun). Kau sendiri tidak? (Hal.68)
Namun dibalik karakter buruk yang melekat pada tokoh sumi, masih ada sedikit rasa sedikit peduli pada cokro yang sedang sakit.

"Orang sakit kok dibentak-bentak. Makanya sini!"

"sudah, jangan dirongrong, buka pintunya! Sana” (Hal.55)

B. KARAKTER ISTRI
Karakter istri merupakan karakter yang mendominasi hampir keseluruhan adegan dalam drama ini bersama tokoh suami. Secara fisik, tokoh istri ini juga tidak digambarkan secara mendetail seperti halnya tokoh suami. Tokoh istri adalah perempuan tua yang berusia sekitar 60-65 tahun. Karena usianya yang sudah tua, ia sering menderita sakit kepala. Ia biasa duduk-duduk di beranda menemani suaminya bersantai. Tokoh istri merupakan "parter" dari tokoh suami dalam hal bertengkar, dan pertengkaran merekalah yang menggerakkan alur sehingga terasa hidup. Melalui pertengkaran mereka, kedua tokoh berusaha mengungkapkan kejadian sebenarnya yang terjadi dalam batin, pikiran, maupun angan-angan mereka.
Secara psikologis, tokoh istri digambarkan sebagai seorang perempuan kasar dan pemarah. Hal ini sering memicu pertengkaran kecil mereka semakin menjadi hingga akhirnya reda dengan sendirinya.

"Dua puluh!!(membentak)

(marah) “Habis dua puluh, mana ingat semua. Belum lagi suka pindah. Kamu kerjanya saban hari duduk, tentu saja ingat. Kita yang ngurusin suka bingung". (Hal.13)
(hendak marah)"jangan mancing mancing aku marah!". (Hal.71)
Sifat tokoh istri yang keras kepala dan tidak mau mengalah membuat tokoh istri mendominasi hampir semua dialog dan menimbulkan kesan tokoh suami sebagai seorang yang takut kepada istri.
"makanya jangan berlagak"
"siapa?"
"kau"
"lho"
"tidak ngaku?"
"orang lupa kok berlagak"
"nggak!" (Hal.13)
Tokoh istri juga diambarkan sebagai seorang perempuan tua cerewet yang mau menang sendiri. Sifat ini yang membuat cokro tidak menyukai tokoh istri selain sikapnya yang suka memerintah dan memaki.

"Dan lagi, yang selalu cerewet dalam segala hal, kok diam dalam hal ini membiarkan saja. Penyakitmu itu..."

"Cokro!!!Cokro!!! (kedengaran suara menyahut jauh). Jemuran nasi pindah!. Bikin air panas lagi!!! Telor ayam ambil! Jangan lepas yang putih!...
(Hal.14)


"..Senangnya memerintah orang, mau benar sendiri, tahu salah tapi masih tidak mau ngaku. Sudah sering, maunya menang sendiri...(Hal.27).

"Biarin orang edan!"
"biar saja edan!"(Hal.77)
Melalui penuturan suami melalui dialognya, diketahui bahwa tokoh istri juga memiliki sifat plin-plan dan tidak teguh pendirian.
"..Penyakitmu yang lain, kau tidak punya, pikiranmu hanya pulang balik kanan kiri, tidak bisa sedikit mengembang mengempis" (Hal.26)
Sikap si istri yang selalu menaruh curiga kepada setiap orang dan tidak mudah bersimpati kepada orang lain membuatnya menjadi pribadi yang kaku dan senang menuduh orang lain.
"keterlaluan mencurigai semua orang!"
"Memang mereka jujur? Aduuuh! Kalu jujur mereka harus sabar tunggu. Tidak akan lama lagi. Kita juga sudah bosan begini!" (Hal.63)
Karena sifatnya yang pencuriga dan suka menuduhlah yang membuat kebencian dan dendam Cokro memuncak sehingga ia berani bersuara setelah sekian lama diam saja atas perlakuan yang diterimanya. Sifatnya ini pula yang membuat suaminya bertengkar hebat dengan Cokro yang berakhir dengan kematian keduanya ditangan Cokro.
"siapa menghasut dia?"
"sejak dia membaca buku wasiatmu"
"apa dia baca?"
"barangkali orang lain baca, waktu menjenguk kuburan dulu. Makanya hati-hati!"
"aku taruh di bawah kasur!"
"Dia bongkar-bongkar kalau kita pergi"(Hal.77)

"pencuri, dia bilang pencuri, coba siapa lagi, jadi betul dia yang mencuri uang Chaerul Umam, kita sudah curiga,ya!"(Hal.81)

C. KARAKTER COKRO
Karakter Cokro merupakan karakter yang unik, dimana karakter ini hanya dihadirikan berupa suara suara saja hingga sampai pada adegan tentang dirinya (adegan Cokro). Kehadiran Cokro yang hanya muncul di babak terakhir ini ternyata sangat penting dalam menggerakkan alur cerita. Tokoh Cokro menjadi penentu jalannya akhir cerita. Karakter tentang cokro dapat dilihat melalui dialog -dialognya (baik dialog dengan tokoh lain maupun monolog pada dirinya sendiri) dan juga penjelasan pengarang tentang gambaran tokoh.
Pada awal kemunculannya, tokoh Cokro digambarkan pengarang sebagai perempuan tua yang membawa serbet, kebut, sapu, dan alat kebersihan lainnya. Ia diceritakan sangat menderita karena diperlakukan sebagai seorang pembantu. Walaupun begitu, ia sangat keras kepala. Walaupun sudah tua, ia masih tetap sehat dan kuat karena setiap hari bekerja keras.
Cokro yang tak pernah kelihatan itu sekarang membawa serbet, kebut, sapu dan sebagainya alat-alat untuk membersihkan. Ia melempar alat alat itu ke tengah ruangan satu persatu. Kemudian ia muncul. Cokro seorang perempuan tua juga. Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari bekerja berat. (Hal.67-68)
Cokro sebenarnya adalah adik perempuan tokoh istri yang dibawa dari kampung untuk membantu kehidupan rumah tangga tokoh suami dan istri dengan janji akan diberi sawah dan kehidupan layak dan mewah di kota. Namun pada kenyataannya, ia diperlakukan sebagai pembantu yang harus bekerja keras setiap hari.
Dimensi psikologis Cokro tercermin dari dialognya yang kaku kepada tokoh suami dan istri. Sifat kaku dan keras yang ditunjukan Cokro merupakan hasil kemarahan dan kekecewaannya atas perlakuan Suami dan Istri.

"tiap hari ribut. Apa?"
...
"Dipindahkan sendiri, sekarang ribut sendiri"
...
(kesal)"ya!"(Hal.61)
...
"Yaaaaa!!!Bangsat!"(Hal.70)

Karena perlakuan yang diterimanya, diam-diam Cokro menyimpan dendam dan rasa benci kepada tokoh suami dan istri. Puncak kekecawaan dan kemarahan Cokro terjadi ketika dirinya dituduh membaca surat wasiat yang dibuat oleh Suami yang ia sembunyikan di bawah bantal. Pertengkaran dengan tokoh suami membuahkan kematian tokoh suami dan istri di tangan Cokro pada akhir cerita.
D. KARAKTER IBRAHIM
Karakter Ibrahim muncul di bagian pertengahan cerita. Karakter ini dihadirkan sebagai tokoh yang merealisasikan rancangan kuburan yang telah didesain salah satu anak kost yang pernah tinggal di rumah tokoh suami dan istri. Ibrahim diceritakan sebagai seorang tukang bangunan yang biasa dimintai jasanya untuk membangun sesuatu baik secara perorangan maupun borongan. Dimensi fisik tokoh Ibrahim digambarkan melalui penjelasan pengarang tentang gambaran karakter. Ibrahim digambarkan sebagai seorang pria perokok yang berpakain kedodoran, kumal, dan terkesan menyembunyikan sesuatu. Dimensi fisik yang diceritakan melalui dialog antar tokoh diketahui bahwa Ibrahim adalah pria penyakitan.
"kenalanmu Ibrahim itu? Penyakitan, apa dia sanggup kerja kalau kita mati?" (Hal.41)

Melalui dialog tokoh istri yang semenjak awal tidak bersimpati kepadanya, diketahui bahwa Ibrahim adalah tipikal orang yang kurang terorganisir(ditunjukkan melalui pakainnya yang sering kedodoran), tidak sopan (ditanya malah ganti bertanya), serta kurang memperhatikan tata krama.
"sekarang aku tidak mau ikut campur. Urus sendiri tukangmu ini. Pakaian kedodoran. Ditanya malah ganti nanya. Caranya makan seperti itu, kerjanya pasti begitu juga..." (Hal.47)

Di samping itu, tokoh ibrahim juga digambarkan sebagai orang yang oportunis selama itu menyangkut kepentingan pribadinya, dan jug terkesan berbelit belit dalam berbicara.
E. KARAKTER TOBING
Karakter Tobing merupakan tokoh yan muncul di pertengahan cerita. Ia diceritakn sebagai seorang pemuda yang pernah mondok di tempat suami dan istri. Melalui dialog tokoh lain, diketahui bahwa Tobing adalah seorang pemuda berusia sekitar 30-35 tahun.yang tergolong sukses karena setelah lulus ia diceritakan pernah keluar negri, banyak memimpin, dan sudah berkeluarga dan menetap di daerah yang sama dengan Tokoh suami dan istri. Ia juga diceritakan memiliki penghasilan yang tetap dan lumaya besar sehingga mampu mencicil rumah Suami dan Istri yang dijual murah dengan syarat Tobing harus mengurus pemakaman mereka kelak. Dimensi psikologis Tobing dapat dilihat melalui penjabaran tokoh suami yang menceritakan bahwa Tobing merupakan pemuda yang berwawasan luas.
"apalagi Nak Tobing juga tahu seluk beluk. Pokoknya kami percaya pada Nak Tobing"(Hal.51)
...
"gajih nak Tobing kan besar"(Hal.52)
Walaupun begitu, karena sifat tokoh istri yang pencuriga dan suka menuduh tanpa dasar, maka dalama dialognya Tobing diceritakan sebagai orang yang tidak sabaran menunggu mereka berdua mati dan juga lemah terhadap istrinya. Bahkan ia juga dituduh bersekongkol dengan Cokro mencuri uang Chaerul Umam. Namun tuduhan itu tidak terbukti hingga akhir cerita.
"Tidak sabaran, maunya kita cepat cepat mati. Mentang mentang sudah lunas cicilannya.."(Hal.62)
...
"Tobing lemah terhadap perempuan, seperti kau!" (Hal.62)
...
"Rasanya kok ya, ya! Tobing -Cokro dulu komplot! Ya?!"(Hal.81).

F. KARAKTER TAMU l DAN TAMU ll
Karakter Tamu I dan Tamu II tidak begitu menonjol dalam drama ini. Kedua karakter dihadirkan hanya untuk mengabarkan berita kematian Chaerul Umam yang identitasnya tidak jelas sampai akhir cerita. Kedua tokoh ini diketahui sebagai rekan kerja Chaerul Umam di Jakarta melaui dialognya.
Dimensi fisik kedua tokoh tidak dijelaskan secara mendetail. Melalui penjelasan pengarang tentang gambaran tokoh, keduanya adalah laki-laki yang berusia sebaya dengan Chaerul Umam, yakni sekitar 20-25 tahun.Sedangkan melalui dialog antar tokoh, diketahui bahwa keduanya berprofesi sebagai wartawan yang sangat sibuk.

"kami repot sekali. Banyak tugas. Besok pagi kami harus kembali ke Jakarta"
...
"terima kasih bu, kami repot, maklum wartawan" (Hal.18)














DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum.2010.Drama, Sajarah Teori, dan Penerapannya.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/putuwijaya.html
Harymawan.1994.Dramaturgi.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Sabtu, 09 April 2011

SAJAK DATANG DARA HILANG DARA KARYA: CHAIRIL ANWAR ANALISIS STRATA NORMA ROMAN INGARDEN

Datang Dara, Hilang Dara

“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak

Diumumkan oleh H.B Jassin dalam majalah: Mimbar Indonesia


















Analisis Strata Norma Roman Ingarden Sajak Datang Dara Hilang Dara
Karya : Chairil Anwar

1. LAPIS BUNYI/LAPIS SUARA
Lapis bunyi dalam sajak adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan efek puitis dan nilai seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain bunyi juga memilki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya. Dalam sejarah puisi, bunyi pernah menjadi unsur kepuitisan yang paling dominan (utama) pada sastra Romantik (abad ke-18 dan 19). Bahkan Paul Verlaine, seorang simbolis, mengatakan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Slametmuljana menambahkan bahwa tiap kata (dalam puisi) menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 22).
Dalam bait pertama sajak datang dara hilang dara, terdapat kombinasi vokal (asonansi) bunyi a dan i pada kata sendiri, berani, mencari, dara, mengembara, dan senja. Pada bait pertama terdapat aliterasi r yang masing-masing ada pada kata dara, sendiri, berani, mengembara, dan mencari.
Dalam bait kedua, terdapat asonansi a dan u pada kata mau, menyapu, dan rambutku. Kombinansi bunyi konsonan bersuara (voiced): (b,d,g,j) pada kata biar, menderu, sejenak, dan gelombang dan bunyi sengau (nasal): (m, n, ng,ny) pada kata malam, menderu, mengembara, menyisir, dan menyapu mendukung suasana gembira yang ditunjukkan dara pada bait ke dua.
Di bait ketiga, ada asonansi bunyi a dan i pada kata terurai, cari, asing, dan pantai. Bunyi liquida l dan r juga ditemukan pada kata rambutku, lepas, terurai, dan bunyi sengau pada kata dingin, asing, pulang, rambut, dan pantai.
Pada bait keempat, dominasi bunyi a dan u menimbulkan asonansi bunyi terutama pada baris 1, 2, dan 3 yang digunakan sebagai lambang rasa (klanksymboliek) yang menyatakan kegembiraan seorang gadis yang tengah bersenandung. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata dingin, bintang, dengan, dan bernyanyi yang menimbulkan bunyi yang padu (eufoni).
Pada bait kelima, terdapat kombinasi yang tidak merdu (kakofoni) yang menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan seperti ditunjukkan pada baris kedua dan ketiga.
Pada bait ke enam, ditemukan bunyi onamatope yang menirukan bunyi seekor burung elang pada kata “heeyaa!”. Dominasi bunyi sengau pada kata elang, sekarang, hilang, pasang, melenggang, gelombang, pantai, dan senja menimbulkan kepaduan bunyi yang merdu (eufoni).
Di bait ketujuh, ditemukan bunyi penanda kakofoni (k,p,t,s) pada kata mengamuk dan membuas yang menjadikan bunyi menjadi tidak padu, tidak merdu, apalagi tidak ditemukan aliterasi maupun asonansi pada bait ketujuh. Bunyi-bunyian tersebut sesuai dengan penggambaran laut yang tengah diterpa badai.
Pada bait kedelapan, ada perpaduan bunyi konsonan (aliterasi) bunyi n pada kata menelan, getaran, jadikan, kedahsyatan, dan ketenangan. Bunyi sengau pada kata gelombang, sendiri, ketenangan, tenang, hilang, dan pasang menambah merdu bunyi yang dihasilkan.
Pada bait kesembilan, adanya repetisi pada kata mana menghasilkan bunyi yang padu dalam keseluruhan bait.
Pada bait terakhir, terdapat aliterasi bunyi m pada baris pertama pada kata malam, kelam, mencat, dan hitam. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata malam, kelam, mencat, hitam bintang, pantai, dan senja.

2. LAPIS ARTI

Lapis arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 17). Lapis arti digunakan untuk memaknai puisi secara lebih lengkap dengan membuat sebuah puisi dengan bahasa yang padat menjadi sebuah prosa yang lebih jelas menceritakkan isi puisi. Kegiatan memprosakan puisi lazim disebut pharaphrase.
Dalam bait pertama diceritakan seorang gadis yang berani berkeliaran di tepi pantai pada waktu senja. Gadis itu sedang mencari hakikat kebebasan dan jati dirinya sebagai seorang remaja. Kemudian si aku mengajak dara untuk pulang.
Dalam bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan angin malam yang menghamburkan pasir, dan menerpa gelombang, juga meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara sampai menemukan apa yang ia cari, yakni hakikat dari sebuah kebebasn yang baru saja ia rasakan di pantai.
Dalam bait ketiga aku merasakan rambutnya yang lepas terurai dihempas angin. Aku bertanya pada dara apa gerangan yang ia cari di laut dingin di pantai yang asing. Sekali lagi aku membujuk dara agar turut pulang bersamanya.
Dalam bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari aku. Dara ingin bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan hatinya. Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angin yang berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam bait kelima aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis (dara anak berani) dan menakuti kalau hujan badai akan segera turun dan apabila dara tidak segera pulang sekarang, ia akan tersesat karena suasana semakin gelap (nanti semua gelap, kau hilang jalan).
Dalam bait keenam dara bukannya menuruti kata-kata aku justru malah menari di tepi pantai menirukan seekor elang yang terbang bebas melintasi gelombang pasang ketika senja disaat pantai mulai tidak terlihat (ketika senja pasang, ketika pantai hilang). Si dara menirukan gerakan elang terbang yang melenggang ke kiri dan kekanan sambil merentangkan kedua tangannya.
Di bait ketujuh aku kembali memperingatkan dara bahwa laut mulai dihempas badai (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang yang semakin besar (lihat, gelombang membuas berkejaran). Untuk yang terakhir kalinya si aku mengajak dara pulang.
Di bait kedelapan dara tetap keras kepala dan tidak mengindahkan ajakan si aku. Dara justru berkata bahwa ia sendiri adalah bagian dari getaran gelombang, yang menciptakan kedahsyatan air pasang, juga ketenangan air laut saat surut. Ia begitu asyik bermain hingga dara tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah hilang ditelan gelombang hingga kepalanya berada di bawah buih busa dan lumut laut.
Di bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang ditelan gelombang.
Di bait terakhir, si aku mertapi kematian dara di bawah malam yang kelam oleh mendung hingga bintang-bintang kehilangan cahayanya. Aku mencari dara di pantai, namun hanya kehampaan yang aku temui.

3. LAPIS KETIGA

Lapis berikutnya adalah lapis ketiga. Lapisan ini muncul setelah menganalisis lapis artis arti. Wujud dari lapis ketiga ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku dan dunia pengarang. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18). Dalam sajak Datang Dara Hilang Dara, lapis itu berupa:

a.) Objek-objek yang dikemukakan antara lain : dara, pantai, senja, angin, malam, rambut, pasir, gelombang, laut, kalbu, bintang, bayu, lagu, tubuh, dan sinar/cahaya.
b.) pelaku atau tokoh : si aku dan dara
c.) latar waktu : saat senja beranjak malam ketika langit sedang mendung dan berangin.
d.) latar tempat : pantai senja yang sedang mendung dan berangin dan tidak ada cahaya.
e.) Dunia pengarang :
Dara, seorang gadis yang mengembara mencari hakikat kebebasan di pantai senja. Si aku berusaha membujuk dara agar mau pulang, namun dara menolak. Ia menikmati kebebasan yang ia dapatkan melalui angin malam yang berhembus diantara pasir dan gelombang laut dan sesekali membelai rambutnya. Dara tidak akan pulang sebelum menemukan apa yang ia cari. Si aku bertanya apa gerangan yang sedang dara cari, aku mengajak dara pulang. Dara menolak. Ia ingin bernyanyi di pantai di bawah bintang-bintang dan diantara hembusan angin. Ia ingin bernyanyi sebebas bebasnya. Si aku tidak menyerah membujuk dara untuk pulang. Si aku juga merayu dara dengan menyebut dara anak yang berani, dan mengatakan langit mendung, nanti bila gelap dara akan tersesat mencari jalan pulang. Namun dara tetap menolak, ia justru semakin menjadi jadi dengan bermain-main menirukan elang yang sedang terbang diatas gelombang ketika laut pasang di kala senja. Si aku tetap tidak menyerah dan tetap membujuk dara pulang, dan menakuti dengan berkata laut akan diterjang badai, gelombang pun semakin besar. Dara menolak dan mengandaikan dirinya sendiri adalah gelombang. Hingga di antara kedahsyatan air pasang, tubuhnya hanyut hingga kepalanya tenggelam di bawah lumut. Dara hilang ditelan gelombang. Si aku mencari dengan putus asa bayang ramping tubuh dara. Dalam keadaan putus asa, si aku mencari dara, di bawah malam yang gelap tanpa bintang-bintang,si aku mencari dara di pantai senja yang beranjak malam. Namun dara tidak ada. Dara mati ditelan gelombang.

1. LAPIS KEEMPAT

Lapis keempat adalah lapis pembentuk makna dalam sajak, lapis ‘dunia’ yang tidak perlu dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18-19).
Dunia yang tidak perlu dinyatakan tetapi sudah implisit tampak sebagai berikut:
Dara adalah seorang gadis yang sendirian (dara yang sendiri) yang mencari kebebasan di pantai kala senja.
Di bait ketiga si aku mengajak dara pulang. Namun ajakan aku ditolak oleh dara. Si aku membujuk dengan mengatakan laut akan dihantam badai dan mengajak dara pulang agar nanti tidak tersesat.
Di bait keempat menceritakan penolakan dara yang justru malah bermain-main menirukan gerakan seekor elang yang tengah terbang.
Di bait ketujuh, menyatakan kegelisahan si aku karena bujukannya mengajak dara pulang tidak berhasil sentara laut akan diterjang badai.
Di bait kedelapan menyatakan dara tetap menolak dan teguh pada pendiriannya hingga akhirnya ia hilang ditelan gelombang ( atap kepalaku hilang di bawah busah dan lumut).
Di bait kesembilan dan kesepuluh, menyatakan kegagalan si aku dalam membujuk dara pulang hingga akhirnya dara mati ditelan gelombang.




5. LAPIS KELIMA

Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 19).
Dalam sajak ini, lapis itu berupa pencarian makna akan kebebasan yang ditunjukkan oleh tokoh dara. Dalam pencariannya akan kebebasan tersebut, seringkali manusia hanya menurutkan egonya saja, tanpa ambil peduli apakah jalan yang ia tempuh tersebut baik untuknya ataukah justru malah merugikan dirinya. Memang ada kalanya manusia menginginkan saat-saat dimana dirinya merasakan kebebasan akan kungkungn dan belenggu norma-norma yang seringkali dirasa terlalu ketat mengikat dan membatasi kebebasan. Namun dalam pencarian akan hakikat kebebasan itu, manusia hendaknya tidak melupakan batasan-batasan yang ada, sehingga tidak terjerumus oleh kebabasan yang diluar batas yang justru akan merugikan diri sendiri. Namun \manusia seringkali tidak peduli terhadap nasihat-nasihat orang-orang di sekitarnya yang peduli kepadanya dan tetap menusruti hawa nafsunya hingga akhirnya binasa oleh egonya.