Sejarah Drama di Dunia
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Drama terlebih dahulu berkembang di dunia barat yang disebut drama klasik pada zaman Yunani dan Romawi. Pada masa kejayaan kebudayaan Yunani maupun Romawi banyak sekali yang bersifat abadi, terkenal sampai kini. Semua ini sekedar informasi untuk memperluas pengetahuan kita di Indonesia khususnya mahasiswa tentang perkembangan drama di luar Indonesia.
2. Sejarah Drama di Dunia
2.1. Drama Klasik
Yang disebut drama klasik adalah drama yang hidup pada zaman Yunani dan Romawi. Pada masa kejayaan kebudayaan Yunani maupun Romawi banyak sekali karya drama yang bersifat abadi, terkenal sampai kini.
a. Zaman Yunani.
Asal mula drama adalah Kulrus Dyonisius. Pada waktu itu drama dikaitkan dengan upacara penyembahan kepada Dewa Domba/Lembu. Sebelum pementasan drama, dilakukan upacara korban domba/lembu kepada Dyonisius dan nyanyian yang disebut “tragedi”. Dalam perkembangannya, Dyonisius yang tadinya berupa dewa berwujud binatang, berubah menjadi manusia, dan dipuja sebagai dewa anggur dan kesuburan. Komedi sebagai lawan dari kata tragedi, pada zaman Yunani Kuno merupakan karikatur terhadap cerita duka dengan tujuan menyindir penderitaan hidup manusia.
Ada 3 tokoh Yunani yang terkenal, yaitu: Plato, Aristoteles, dan Sophocles. Menurut Plato, keindahan bersifat relatif. Karya karya seni dipandanganya sebagai mimetik, yaitu imitasi dari kehidupan jasmaniah manusia. Imitasi itu menurut Plato bukan demi kepentingan imitasi itu sendiri, tetapi demi kepentingan kenyataan. Karya Plato yang terkenal adalah The Republic.
Aristoteles juga tokoh Yunani yang terkenal. Ia memandang karya seni bukan hanya sebagai imitasi kehidupan fisik, tetapi harus juga dipandang sebagai karya yang mengandung kebijakan dalam dirinya. Dengan demikian karya-karya itu mempunyai watak yang menentu.
Sophocles adalah tokoh drama terbesar zaman Yunani. Tiga karya yang merupakan tragedi, bersifat abadi, dan temanya Relevan sampai saat ini. Dramanya itu adalah: “Oedipus Sang Raja”, “Oedipus di Kolonus”, dan “Antigone”. Tragedi tentang nasib manusia yang mengenaskan.
Tokoh Lain yang dipandang tokoh pemula drama Yunani adalah Aeschylus, dengan karya-karyanya: “Agamenon”, “The Choephori”, “The Eumides”. Euripides yang hidup antara 485-306 SM, merupakan tokoh tragedi, seperti halnya Aeschylus. Karya-karya Euripides adalah: Electra, Medea, Hippolytus, The Troyan Woman dan Iphigenia in Aulis.
Jika Aeschylus, Sophocles, dan Euripides merupakan tokoh strategi, maka dalam hal komedi ini mengenal tokoh Aristophanes. Karya-karyanya adalah : The Frogs, The Waps, dan The Clouds.
Bentuk Stragedi Klasik, dengan ciri-ciri tragedi Yunani adalah sebagai berikut :
1. Lakon tidak selalu diakhiri dengan kematian tokoh utama atau tokoh protagonis.
2. Lamanya Lakon kurang dari satu jam.
3. Koor sebagai selingan dan pengiring sangat berperan (berupa nyanyian rakyat atau
pujian).
4. Tujuan pementasan sebagai Katarsis atau penyuci jiwa melalui kasih dan rasa takut.
5. Lakon biasanya terdiri atas 3-5 bagian, yang diselingi Koor (stasima). Kelompok Koor
biasanya keluar paling akhir (exodus).
6. Menggunakan Prolog yang cukup panjang.
Bentuk pentas pada zaman Yunani berupa pentas terbuka yang berada di ketinggian. Dikelilingi tempat duduk penonton yang melingkari bukit, tempat pentas berada di tengah-tengah. Drama Yunani merupakan ekspresi religius dalam upacara yang bersifat religius pula.
Bentuk Komedi, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Komedi tidak mengikuti satire individu maupun satire politis.
2. Peranan aktor dalam komedi tidak begitu menonjol;
3. Kisah lakon dititikberatkan pada kisah cinta, yaitu pengejaran gadis oleh pria yang
cintanya ditolak orang tua/famili sang gadis.
4. Tidak digunakan Stock character, yang biasanya memberikan kejutan.
5. Lakon menunjukan ciri kebijaksanaan, karena pengarangnya melarat dan menderita, tetapi kadang-kadang juga berisi sindiran dan sikap yang pasrah
Blog berisi materi kuliah, goresan peristiawa yang berwujud cerita, dan beberapa untai sajak saya
Kamis, 17 Maret 2011
Budaya Melayu Bangka
Melayu yang identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang solid. Agaknya Bahasa menjadi lebih dulu muncul sebagai salah satu identitas budaya melayu, ia lahir seiring dengan perkembangan budayanya. Bahasa melayu menjadi lingua franca di Nusantara, kini menjadi bahasa Indonesia. Bahasa itu sudah menyebar lewat imperium Sriwijaya, Imperium Melayu Jambi, bahkan Pagaruyung. Namun imperium itu pudar oleh serangan Majapahit sampai 1365, Serangan tersebut menyebabkan Parameshawara hijrah dari Palembang ke Malaka, Tetapi bahasa melayu itu sudah berintegrasi ke wilayah yang pernah diduduki Sriwijaya.
Parameshwara telah membawa bahasa dan adat istiadat tersebut hijrah ke Malaka kemudian mendirikan imperium Melayu Malaka tahun 1400 maka penyebaran bahasa, adat istiadat bahkan Agama Islam. Penyebaran budaya melayu ini mulai dari Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya hingga Patani (Thailand) penyebaran bahasa ini yang kemudian oleh orang barat, bahwa orang yang mendiami Nusantara ini di sebut orang melayu.
Penyebaran imperium Melayu Malaka itu, di abad berikutnya membentuk kesultanan Islam seperti di Siak, Pontianak, Johor, dan lainnya. termasuk wilayah kepulauan Riau. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Sultan Iskandar Syah dari Malaka mengungsi dan mendiami Pulau Bintan dengan pusat kebudayaannya Tanjungpinang.
Sampai kemudian sekitar tahun 1513, wilayah melayu Jambi dan Palembang dikuasai oleh Raden Patah dari Demak. Raden Patah membawa pengaruh Jawanya, hingga sistem kesultanan Islam tumbuh di wilayah “melayu” Sumatera ini hingga dekade berikutnya.
Bagaimana di Bangka Belitung? Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putri Ki Ronggo udo, yaitu penguasa Belitung sebelumnya.
Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada keIslaman. Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang lainnya.
Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung. Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “ pesta lebaran” yang di rayakan secara sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta lebaran” serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan acara “Perang Ketupat”.
Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan terebut.
Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang lahir, disambut dengan membaca doa islami dan pembacaan syair marhaban.
Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ini memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.
Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.
Misalnya Mentok yang fonetis bahasanya cenderung ke Bahasa Semenanjung Malaya, karena kita mengenal wilayah ini banyak dipengaruhi oleh Johor dan Siantan; setelah Sultan Mahmud Badaruddin mengungsi ke Siantan. Dan kemudian Sultan Mahmud Badaruddin menyerahkan Mentok pada Wan Akup dari Siantan, atas jasa bantuan angkatan perang Siantan untuk menduduki Palembang yang di kuasai Ratu Anum Kamaruddin. Hanya bahasa wilayah Belinyu kemiripan fonetisnya sama dengan Palembang. Dan wilayah Bangka lainnya yang menjadi begitu beragam fonetikanya.
Belitung lebih dekat ke Kalimantan maka dominan bahasa penduduknya lebih dekat pula dengan wilayah tersebut namun perbedaannya fonetikanya tak begitu signifikan, bunyi bahasa itu hanya dibedakan cengkoknya saja. Hingga irama dari fonetis bahasanya terdengar memiliki perbedaan alunan, berbedaan ini misalnya bisa disimak pada bunyi bahasa asli penduduk wilayah Sijuk dengan penduduk wilayah Belantu. Sedang wilayah lainnya hampir sama dan tak ada perbedaan yang menonjol.
Berbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada setiap kunjungan ke rumah-rumah masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah untuk tinggal dan menetap.
Sayangnya, Dominasi pendatang yang hanya sekedar menjadikan Bangka Belitung sebagai ladang “matapenghidupan” selalu tak memperhatikan budaya setempat hingga tak jarang ada benturan sosial yang berujung pada pertikaian. Namun hal tersebut tidak selalu menjadi bahaya laten karena budi dan bahasa masyarakat Bangka Belitung yang tercermin dalam karakter mereka selalu dapat bersikap moderat pada pendatang.
Parameshwara telah membawa bahasa dan adat istiadat tersebut hijrah ke Malaka kemudian mendirikan imperium Melayu Malaka tahun 1400 maka penyebaran bahasa, adat istiadat bahkan Agama Islam. Penyebaran budaya melayu ini mulai dari Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya hingga Patani (Thailand) penyebaran bahasa ini yang kemudian oleh orang barat, bahwa orang yang mendiami Nusantara ini di sebut orang melayu.
Penyebaran imperium Melayu Malaka itu, di abad berikutnya membentuk kesultanan Islam seperti di Siak, Pontianak, Johor, dan lainnya. termasuk wilayah kepulauan Riau. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Sultan Iskandar Syah dari Malaka mengungsi dan mendiami Pulau Bintan dengan pusat kebudayaannya Tanjungpinang.
Sampai kemudian sekitar tahun 1513, wilayah melayu Jambi dan Palembang dikuasai oleh Raden Patah dari Demak. Raden Patah membawa pengaruh Jawanya, hingga sistem kesultanan Islam tumbuh di wilayah “melayu” Sumatera ini hingga dekade berikutnya.
Bagaimana di Bangka Belitung? Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putri Ki Ronggo udo, yaitu penguasa Belitung sebelumnya.
Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada keIslaman. Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang lainnya.
Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung. Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “ pesta lebaran” yang di rayakan secara sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta lebaran” serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan acara “Perang Ketupat”.
Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan terebut.
Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang lahir, disambut dengan membaca doa islami dan pembacaan syair marhaban.
Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ini memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.
Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.
Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.
Misalnya Mentok yang fonetis bahasanya cenderung ke Bahasa Semenanjung Malaya, karena kita mengenal wilayah ini banyak dipengaruhi oleh Johor dan Siantan; setelah Sultan Mahmud Badaruddin mengungsi ke Siantan. Dan kemudian Sultan Mahmud Badaruddin menyerahkan Mentok pada Wan Akup dari Siantan, atas jasa bantuan angkatan perang Siantan untuk menduduki Palembang yang di kuasai Ratu Anum Kamaruddin. Hanya bahasa wilayah Belinyu kemiripan fonetisnya sama dengan Palembang. Dan wilayah Bangka lainnya yang menjadi begitu beragam fonetikanya.
Belitung lebih dekat ke Kalimantan maka dominan bahasa penduduknya lebih dekat pula dengan wilayah tersebut namun perbedaannya fonetikanya tak begitu signifikan, bunyi bahasa itu hanya dibedakan cengkoknya saja. Hingga irama dari fonetis bahasanya terdengar memiliki perbedaan alunan, berbedaan ini misalnya bisa disimak pada bunyi bahasa asli penduduk wilayah Sijuk dengan penduduk wilayah Belantu. Sedang wilayah lainnya hampir sama dan tak ada perbedaan yang menonjol.
Berbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada setiap kunjungan ke rumah-rumah masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah untuk tinggal dan menetap.
Sayangnya, Dominasi pendatang yang hanya sekedar menjadikan Bangka Belitung sebagai ladang “matapenghidupan” selalu tak memperhatikan budaya setempat hingga tak jarang ada benturan sosial yang berujung pada pertikaian. Namun hal tersebut tidak selalu menjadi bahaya laten karena budi dan bahasa masyarakat Bangka Belitung yang tercermin dalam karakter mereka selalu dapat bersikap moderat pada pendatang.
Bahasa Melayu
Tanah asal-usul penutur bahas Melayu
Ada tiga teori yang dikemukakan tentang asal-usul penutur bahasa Melayu (atau bentuk awalnya sebagai anggota bahasa-bahasa Dayak Malayik). Kern (1888) beranggapan bahwa tanah asal penutur adalah dari Semenanjung Malaya dan menolak Borneo sebagai tanah asal. Teori ini sempat diterima cukup lama (karena sejalan dengan teori migrasi dari Asia Tenggara daratan) hingga akhirnya pada akhir abad ke-20 bukti-bukti linguistik dan sejarah menyangkal hal ini (Adelaar, 1988; Belwood, 1993) dan teori asal dari Sumatera yang menguat, berdasarkan bukti-bukti tulisan. Hudson (1970) melontarkan teori asal dari Kalimantan, berdasarkan kemiripan bahasa Dayak Malayik (dituturkan orang-orang Dayak berbahasa Melayu) dengan bahasa Melayu Kuna, penuturnya yang hidup di pedalaman, dan karakter kosa kata yang konservatif.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallaw. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu
Bahasa Melayu Kuna (abad ke-7 hingga abad ke-13)
Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui kreolisasi.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
SEJARAH PERTUMBUHAN BAHASA MELAYU
Terbentuknya bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang ,bahkan lebih panjang dari usia bangsa dan negara Republik Indonesia .
Sejak masa kerajaan Sriwijaya pada masa Melayu kuno sampai diproklamasikannya bahasa Indonesia sebagai resmi dan nasional negara, bahasa Melayu masih memperbarui dan menambah kosakata dengan menerima kosakata bahasa asing dan daerah. Dengan demikian, bahasa Indonesia masih hidup dan bergerak sampai pada akhirnya menjadi bahasa dunia/internasional.
Awal terbentuknya bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini adalah kedatangan para pedagang, misionaris (zending), peneliti penulis dari India, Arab, Belanda, Portugis, atau etnis lain non-Melayu ke wilayah Nusantara dengan berbagai keperluan. Di antara mereka ada berniat menjual dan membeli sesuatu untuk dijual di negara asal mereka, ada pula yang berkepentingan menyebarkan agama, serta ada pula yang berkait dengan keilmuan, seperti penelitian, pengamatan, dan/ atau mengadakan riset. Mereka menggunakan bahasa Melayu yang mereka pelajari secara praktis. Sebelum masyarakat di Kepulauan Nusantara ini mengenal bahasa Indonesia, mereka telah mengenal dan menggunakan bahasa Melayu yang pada waktu itu sudah menjadi lingua-franca.Oleh karena sudah dipergunakan sebagai bahasa pergaulan perdagangan, dengan sendirinya bahasa Melayu sudah dikenal luas oleh penduduk dan menyebar ke berbagai pelosok Nusantara. Dengan memerhatikan keadaan seperti itu, para pedagang, musafir, para peneliti-penulis, dan para misionaris harus menguasai bahasa Melayu terlebih dulu sebelum mengadakan perjalanan dan perniagaan ke Nusantara.
Harus disadari pula, mereka belajar bahasa Melayu hanya untuk memudahkan usaha- usaha mereka di tanah Melayu ini. Mereka tidak menyadari bahwa ketika proses perhubungan interaksi-sosial itu terjadi pertukaran informasi budaya, baik budaya asli penutur maupun budaya lokal, adat-istiadat, termasuk kosakata yang tidak terdapat dalam bahasa masing-masing. Salah satu pertukaran informasi ini, adalah terjadinya akulturasi yang secara tidak langsung berdampak pada penggunaan bahasa.
Bahasa lokal (Melayu) tentunya tidak bisa mewakili semua keinginan, perasaan, pendapat, karakter budaya penutur yang datang dari luar, dan sebagainya. Sebagai akibat kekurangan ini, bahasa Melayu dengan serta merta membuka diri untuk menerima kosakata baru, baik melalui pemungutan/penyerapan, menyerap dengan mengadakan perubahan, atau menerjemahkan secara kreatif bahasa asing untuk melengkapi perbendaharaan kosakatanya.
Kelebihan bahasa Melayu adalah salah satu bahasa di muka bumi ini yang sangat terbuka menerima unsur lokal (daerah yang dimasukinya) dan asing. Keterbukaan ini tidak saja mampu dan mau menyerap/memungut kosakata bahasa asing, tetapi bahasa Melayu mampu pula membentuk kosakata baru sebagai dampak pertemuan bahasa asing dan bahasa asli.
Ini merupakan karakter bahasa Melayu yang memang sejak dulu telah membentuk diri dalam sejarah yang sangat panjang. Berbagai ahli antropologi budaya dan bahasa menyatakan bahwa penutur-penutur bahasa Melayu berasal dari golongan Austronesia yang datang ke Nusantara sejak 2.500 Sebelum Masehi dari daerah Yunnan dan secara bertahap menduduki wilayah Asia Tenggara. Golongan pertama ini disebut Melayu-Proto. Kemudian, pada kira-kira tahun 1500 Sebelum Masehi, datang golongan kedua dari Asia Selatan (India) menduduki daerah pantai dan tanah lembah di Asia Tenggara yang disebut Melayu-Deutro.
Beberapa sumber menyatakan bahwa penyebutan pertama secara tertulis istilah Bahasa Melayu sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun 1yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang masyhur pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Bahasa-bahasa yang dibawa moyang dari Yunnan ini kemudian mengalami percampuran, baik dengan bahasa lokal maupun bahasa ibu kaum pendatang, sehingga mengalami perubahan dari kosakata dan struktur kalimat, dan perkembangan yang bersifat majemuk menjadi sistem bahasa Melayu terawal, yaitu bahasa Melayu kuno. Tulisan yang dipergunakan adalah huruf/aksara Sansekerta- Jawa Kuno, yaitu tulisan (huruf/aksara) Pallawa.
Bahasa Melayu kuno yang ada di dalam masyarakat itu sendiri terbagi menjadi tiga tataran atau kelompok utama, yaitu
(1) Melayu tinggi, yaitu bahasa Melayu sebagaimana dipakai dalam kitab sejarah Melayu, yang dipergunakan oleh kaum bangsawan, para cerdik-cendekia untuk menuliskan ilmu dan pengetahuannya, yang dipakai oleh para sastrawan untuk menulis karya sastra, dan orang-orang penting di lingkungan kerajaan yang berhubungan dengan kekerabatan kebangsawanan. Jadi, bahasa ini bersifat istanasentris yang biasa ditemukan di dalam karya sastra yang berbentuk hikayat seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Muhammad Ali Hanafiah, Hikayat Amir Hamzah, Bustanus Salatin, Sulalatus Salatin, Sejarah Melayu, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Hang Tuah, dan Tajus Salatin. Bentuk yang lebih formal, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya , dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.
(2) Melayu rendah, yaitu bahasa Melayu pasar atau pula bahasa Melayu campuran. Bahasa Melayu rendah atau pasar ini digunakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat dan mengabaikan status atau golongan penutur. Bahasa Melayu rendah atau pasar ini juga dipergunakan oleh para pedagang asing, pelancong, dan misionaris ketika mereka mendatangi kawasan Nusantara. Perkembangan perbendaharaan kosakata bahasa Melayu pasar ini sangat pesat sesuai dengan tingkat kebutuhan penutur bahasa. Para saudagar, peneliti-penulis, misionaris (zending), dan sebagainya berkecenderungan menggunakan kelas bahasa ini karena masyarakat tempat mereka belajar menggunakan kelas bahasa ini.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Melayu Tinggi. Pemerintah Belanda berusaha meredamnya dengan memromosikan bahasa Melayu Tinggi dan melarang bahasa Melayu Pasar, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Dengan demikian, Penerbit Balai Pustaka perlu mengadakan sensor ketat terhadap karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu. Tetapi bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diadopsi oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia .
(3) Melayu daerah, yaitu bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh dialek-dialek tertentu. Bahasa Melayu yang sudah banyak bercampur dengan bahasa Arab, Cina, atau dipengaruhi tradisi lokal si penutur. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah bahasa Melayu Minangkabau yang dipergunakan oleh para sastrawan Angkatan Pujangga Baru (tahun 1930-an). Kelas bahasa ini tidak berkembang meluas, namun hanya bersifat kedaerahan. Namun demikian, peran mereka dalam perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sangatlah besar melalui karya-karya sastra mereka.
Proses terbentuknya bahasa Melayu yang dipergunakan di berbagai daerah di Nusantara ini sebenarnya sangat panjang dan berbelit-belit. Para ahli bahasa (linguis), arkeolog, antrolopog, dan kompetensi-kompetensi lain belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul bahasa Melayu. Namun demikian, ada pendapat yang bpopular yang menyatakan bahwa pentutur-pentutur bahasa Melayu berasal daripada golongan Austronesia yang datang sejak 2.500 Sebelum Masehi dari daerah Yunnan dalam beberapa bentuk gelombang pergerakan manusia dan menduduki wilayah Asia Tenggara.
Golongan pertama ini dipanggil Melayu Proto. Kemudian,pada kira-kira tahun 1500 SM, datang golongan kedua dari asia selatan ( India ) menduduki daerah pantai dan tanah lembah di Asia Tenggara yang dipanggil Melayu Deutro.
Diagram rumpun bahasa Austronesia
1.Taiwanik
a..bahasa At ayalik
b. bahasa Tsouik
c. bahasa Paiwanik
d. bahasa Taiwanik Barat
e. bahasa Taiwanik yang
terpengaruh bahasa Tiong
2.Melayu PolineSia
Barat : Bahasa Bor neo ,Philipina Utara ,Philipina Tengah ,Philipina Selat an ,Mindanao Selatan .Sama-Baj au ,Sulawesi bahasa Sundik : bahasa Jawa, bahasa Melayu
(dan bahasa Indonesia),
bahasa Sunda, bahasa Madura,bahasa Aceh, bahasa Bat ak dan bahasa Bali (dengan jumlah penut ur t erbesar)
Tengah : Bima-Sumba , Maluku tengah , Maluku tenggara ,Timor-Flores
Timur : Halmahera Salatan , Papua Barat LAut.
Kuatnya bahasa melayu di Bangka
Bahasa Melayu Kuno memiliki keunikan perkembangan yang luar biasa, yaitu penyesuaian antara bahasa Melayu terhadap bahasa Sanskerta. Hal ini disebabkan oleh adanya gelombang besar kedatangan pedagang dan misionaris dari India pada awal abad ke-4. Para misionaris dan pedagang yang menggunakan bahasa Sansekerta menyebarkan keyakinan mereka dan mulai memelajari bahasa Melayu untuk menulis dan mengalihbahasakan kitab-kitab cerita dan keagamaan, di samping untuk tujuan praktis, yakni berkomunikasi dengan penduduk lokal di samping menyebarkan keyakinan mereka.
Pada waktu mengadakan komunikasi antara penutur bahasa asli (Melayu kuno) dengan pendatang terjadilah pertukaran berbagai informasi, baik yang berciri kebahasaan, politik, budaya, maupun lainnya. Tentu saja, berbagai informasi yang disampaikan oleh kaum pendatang tidak dapat diterima secara penuh oleh penduduk lokal. Demikian pula sebaliknya. Di sinilah terjadi proses pengalihan informasi dan pencampuran, yakni proses pembauran antara bahasa lokal dengan bahasa ibu penutur yang datang dari luar. Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan bentuk (tipologi) fonologi (sistem bunyi) bahasa–bahasa rumpun Austronesia tergolong sederhana. Para penutur bahasa ini biasanya tidak menyukai sukukata-sukukata tertutup dan menghindari gugusan-gugusan konsonan (kluster, misalnya padaIndische Sociaal
Keunikan atau kehebatan yang paling menonjol dari bahasa Melayu adalah sifatnya yang terbuka untuk menerima kosakata bahasa asing. Bahasa Melayu membuka diri untuk dilengkapi tuturannya dan kosakatanya sehingga dianggap sudah memenuhi unsur keutuhan pesan. Sedikit demi sedikit bahasa Melayu memungut kosakata lokal dan asing. Dengan demikian kosakata bahasa Melayu bertambah dan semakin mantab sebagai alat komunikasi. Jauh sebelum dikenal bahasa Melayu dengan tulisan Pallawa, di Nusantara ini sudah mengenal beragam aksara. Aksara-aksara yang dipergunakan di Nusantara merupakan turunan dari Aksara Pallawa yang berasal dari India bagian selatan. Aksara Pallawa sendiri merupakan turunan dari Aksara Brahmi. Aksara Brahmi ini adalah cikal-bakal semua aksara di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara ini berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacarawaprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada
yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar Abad IV.
Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, maka pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya Aksara Sunda Baku.
Kosakata dan perkembangan bahasa Melayu ini tidak seperti sekarang. Berbeda dengan zaman sekarang yang sudah bisa mengandalkan teknologi rekaman digital, di zaman dulu para leluhur kita mengekspresikan keinginan jiwanya dengan berbagai bentuk dan cara-cara yang masih dianggap tradisional dan primitif atau sekurang- kurangnya konvensional. Cara-cara tradisional dan primitif untuk mengekspresikan jiwa itu bisa berbentuk, antara lain
a. Pahatan-pahatan batu, atau logam, biasa disebut prasasti1 atau Yupa2, dan Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, dimana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajari prasasi disebut Epigrafi. Kata prasasti berasal dari bahasa Sansekerta. Secara leksikal berarti “pujian”. Namun dalam perkembangannya dianggap sebagai “piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan”. Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut inskripsi, sementara dikalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.
Berbagai peristiwa yang berkait dengan kehidupan politik (kebijaksanaan raja), kebudayaan, pemerintahan, keagamaan, dan kesusastraan biasanya yang menjadi latar belakang mengapa catatan-catatan itu dibuat. Tidak jarang pula prasasti atau batu bertulis berisi perintah raja, permintaan pendeta, atau bahkan kutukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dianggap berkhianat kepada raja atau kerajaan.
Hal ini yang membuka kesempatan kepada para pendatang maupun penduduk local memergunakan bahasa Melayu. Bukti bahwa bahasa Melayu sudah menjadilingua- francadi zaman Sriwijaya adalah ditemukannya berbagai prasasti. Di antaranya adalah Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi (686 Masehi atau 608 çaka) yang berisi permohonan kepada Yang Mahakuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para pengkhianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Prasasti ini juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Nama Sriwijaya sendiri terpahat pada prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan M. Bratenburg, seorang berkebangsaan Belanda, pada 29 November 1920 di Kedukan Bukit, Sumatera Selatan, di tebing Sungai Tantang. Batu prasasti tersebut berukuran 46 x 80 cm di temukan di Sungai Tatang di Sumatera Selatan yang berangka tahun 683 Masehi atau 605 Saka.
Prasasti-prasasti yang ditemukan itu memuat bahasa dan tulisan Melayu Kuno yang bercampur dengan bahasa Sansekerta. Ini membuktikan bahwa jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berdiri, bahasa Melayu kuno sudah menjadi bahasa pergaulan, perniagaan, alat komunikasi antarsuku bangsa, dan alat penyebaran agama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Melayu memiliki fleksibilitas yang tinggi, sehingga pemelajar asing dapat dengan mudah memelajari bahasa Melayu.
Bahasa Melayu yang berkembang di zaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya mendapat kehormatan dipergunakan sebagai bahasa resmi kerajaan. Hal ini dimungkinkan karena letak strategis kerajaan yang berada di Selat Malaka sehingga bahasa Melayu dipelajari oleh para saudagar yang akan mengadakan perniagaan atau yang lainnya di Nusantara. Para pedagang yang berdatangan dari barat dan timur serta dari Kepulauan Nusantara mengadakan transaksi sudah tentu harus dengan menggunakan bahasa Melayu.
KELAHIRAN BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia memiliki pengertian ‘bahasa yang dipergunakan oleh bangsa Indonesia ’. Kapan bangsa Indonesia lahir? Mudah sekali untuk menjawabnya, yaitu ketika organisasi kepemudaaan yang bertebaran di seluruh wilayah Nusantara ini bersatu-padu dan berikrar pada hari yang sangat bersejarah bagi rakyat dan bangsa Indonesia , Sumpah Pemuda. Di hari itulah bangsa Indonesia secarade facto ada. Kata Indonesia sendiri memiliki sejarah yang cukup unik. Seorang ahli bahasa, Logan , menulis artikel yang berjudulThe Ethnology of the Indian Archipelago. Ia lebih setuju nama "Indunesia" ciptaan Earl, tetapi huruf "U" diganti dengan huruf "O" agar ucapannya lebih baik. Muncullah nama " INDONESIA " yang menurut Logan dibentuk dari dua kata, yaituIndia (=selatan) dannesia (=kepulauan). Paduan kata India-nesiamenimbulkan perubahan indiamenjadi indomenurut aturan sandi dalam ilmu bahasa. Logan juga menyatakan, "Untuk nama "Indian Archipelago" sebagai ajektif atau bentuk etnografis, Earl menganjurkan memakai istilah Etnografis Indunesiansdan menolak Melayunesian. Saya sendiri lebih suka istilah yang memakai istilah Geografis, Kepulauan Hindia.Indonesia merupakan sinonim terdekat denganIndian Island atauIndian Archipelago. Kita akhirnya menerima Indonesiansebagai Indian Archipelagodan Archipelagicserta Indonesianssebagai Indian Archipelaiansdan Indian Islanders.
Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam bahasa daerah yang dimilikinya memerlukan adanya satu bahasa persatuan guna menggalang semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan ini sangat penting dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi Indonesia . Kesadaran politis semacam inilah yang memunculkan gagasan pentingnya bahasa yang satu, bahasa persatuan, bahasa yang dapat menjembatani keinginan berbagai suku bangsa dan budaya di Indonesia saat itu.
Bangsa Indonesia adalah sekolompok suku bangsa yang berbeda warna kulit. Sumatera yang sudah berbaur dengan suku bangsa Yunan ( China ) dan Arab ada yang berkulit kuning tetapi ada pula yang berciri fisik orang Arab, khususnya di Aceh. Jawa yang didominasi India banyak yang berkulit sawo matang. Ternate, Ambon, Sumbawa , Bima, dan pulau-pulau di wilayah timur agak berbeda dengan Jawa dan Sumatera. Irian pun berbeda pula. Namun demikian, perbedaan-perbedaan itu mereka abaikan demi tujuan luhur, yaitu Indonesia Merdeka.
Alasan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional adalah sebagai berikut.
(1) Bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya dipakai sebagailingua franca (bahasa perantara atau bahasa pergaulan di bidang perdagangan), bahasa yang digunakan oleh para misionaris Hindu, Budha, Kristen, dan Islam dalam penyebaran agama di seluruh kota pelabuhan di Indonesia .
(2) Bahasa Melayu mempunyai struktur kalimat sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah dikembangkan pemakaiannya, dan mudah menerima pengaruh luar untuk memperkaya dan menyempurnakan fungsinya sebagai alat
komunikasi. Bahasa Melayu tidak mengenal bentuk ‘tenses’ dan ‘pronoun’
seperti bahasa Inggris, Belanda, atau Arab. Tidak pula serumit bahasa Jawa
yang mengenal perbedaan dan pembedaan pengguna serta penggunaannya.
(3) Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan perbedaan status sosial pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan sentimen dan perpecahan.
(4) Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain
untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
5) Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan golongan mayoritas di Republik Indonesia .
(6) Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
(7) Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis.
(8) Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia . Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia , Brunei , dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
(9) Bahasa Melayu adalah bahasa yang dinamis, dan dengan kedinamisannya itu bahasa Melayu terus mengembangkan diri dengan menerima dan/ atau menyerap kosakata dari bahasa asing maupun lokal.
Jadi, bahasa Indonesia terbukti mampu mengakomodasi kata-kata dari banyak bahasa, yaitu Arab, Belanda, Inggris, Latin, Perancis, Sansekerta, Spanyol, Tionghoa, Yunani dan lain lain
Ada tiga teori yang dikemukakan tentang asal-usul penutur bahasa Melayu (atau bentuk awalnya sebagai anggota bahasa-bahasa Dayak Malayik). Kern (1888) beranggapan bahwa tanah asal penutur adalah dari Semenanjung Malaya dan menolak Borneo sebagai tanah asal. Teori ini sempat diterima cukup lama (karena sejalan dengan teori migrasi dari Asia Tenggara daratan) hingga akhirnya pada akhir abad ke-20 bukti-bukti linguistik dan sejarah menyangkal hal ini (Adelaar, 1988; Belwood, 1993) dan teori asal dari Sumatera yang menguat, berdasarkan bukti-bukti tulisan. Hudson (1970) melontarkan teori asal dari Kalimantan, berdasarkan kemiripan bahasa Dayak Malayik (dituturkan orang-orang Dayak berbahasa Melayu) dengan bahasa Melayu Kuna, penuturnya yang hidup di pedalaman, dan karakter kosa kata yang konservatif.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia, penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasa-bahasa di dunia.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallaw. Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu
Bahasa Melayu Kuna (abad ke-7 hingga abad ke-13)
Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui kreolisasi.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
SEJARAH PERTUMBUHAN BAHASA MELAYU
Terbentuknya bahasa Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang ,bahkan lebih panjang dari usia bangsa dan negara Republik Indonesia .
Sejak masa kerajaan Sriwijaya pada masa Melayu kuno sampai diproklamasikannya bahasa Indonesia sebagai resmi dan nasional negara, bahasa Melayu masih memperbarui dan menambah kosakata dengan menerima kosakata bahasa asing dan daerah. Dengan demikian, bahasa Indonesia masih hidup dan bergerak sampai pada akhirnya menjadi bahasa dunia/internasional.
Awal terbentuknya bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini adalah kedatangan para pedagang, misionaris (zending), peneliti penulis dari India, Arab, Belanda, Portugis, atau etnis lain non-Melayu ke wilayah Nusantara dengan berbagai keperluan. Di antara mereka ada berniat menjual dan membeli sesuatu untuk dijual di negara asal mereka, ada pula yang berkepentingan menyebarkan agama, serta ada pula yang berkait dengan keilmuan, seperti penelitian, pengamatan, dan/ atau mengadakan riset. Mereka menggunakan bahasa Melayu yang mereka pelajari secara praktis. Sebelum masyarakat di Kepulauan Nusantara ini mengenal bahasa Indonesia, mereka telah mengenal dan menggunakan bahasa Melayu yang pada waktu itu sudah menjadi lingua-franca.Oleh karena sudah dipergunakan sebagai bahasa pergaulan perdagangan, dengan sendirinya bahasa Melayu sudah dikenal luas oleh penduduk dan menyebar ke berbagai pelosok Nusantara. Dengan memerhatikan keadaan seperti itu, para pedagang, musafir, para peneliti-penulis, dan para misionaris harus menguasai bahasa Melayu terlebih dulu sebelum mengadakan perjalanan dan perniagaan ke Nusantara.
Harus disadari pula, mereka belajar bahasa Melayu hanya untuk memudahkan usaha- usaha mereka di tanah Melayu ini. Mereka tidak menyadari bahwa ketika proses perhubungan interaksi-sosial itu terjadi pertukaran informasi budaya, baik budaya asli penutur maupun budaya lokal, adat-istiadat, termasuk kosakata yang tidak terdapat dalam bahasa masing-masing. Salah satu pertukaran informasi ini, adalah terjadinya akulturasi yang secara tidak langsung berdampak pada penggunaan bahasa.
Bahasa lokal (Melayu) tentunya tidak bisa mewakili semua keinginan, perasaan, pendapat, karakter budaya penutur yang datang dari luar, dan sebagainya. Sebagai akibat kekurangan ini, bahasa Melayu dengan serta merta membuka diri untuk menerima kosakata baru, baik melalui pemungutan/penyerapan, menyerap dengan mengadakan perubahan, atau menerjemahkan secara kreatif bahasa asing untuk melengkapi perbendaharaan kosakatanya.
Kelebihan bahasa Melayu adalah salah satu bahasa di muka bumi ini yang sangat terbuka menerima unsur lokal (daerah yang dimasukinya) dan asing. Keterbukaan ini tidak saja mampu dan mau menyerap/memungut kosakata bahasa asing, tetapi bahasa Melayu mampu pula membentuk kosakata baru sebagai dampak pertemuan bahasa asing dan bahasa asli.
Ini merupakan karakter bahasa Melayu yang memang sejak dulu telah membentuk diri dalam sejarah yang sangat panjang. Berbagai ahli antropologi budaya dan bahasa menyatakan bahwa penutur-penutur bahasa Melayu berasal dari golongan Austronesia yang datang ke Nusantara sejak 2.500 Sebelum Masehi dari daerah Yunnan dan secara bertahap menduduki wilayah Asia Tenggara. Golongan pertama ini disebut Melayu-Proto. Kemudian, pada kira-kira tahun 1500 Sebelum Masehi, datang golongan kedua dari Asia Selatan (India) menduduki daerah pantai dan tanah lembah di Asia Tenggara yang disebut Melayu-Deutro.
Beberapa sumber menyatakan bahwa penyebutan pertama secara tertulis istilah Bahasa Melayu sudah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M, yaitu angka tahun 1yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Sriwijaya, kerajaan maritim yang masyhur pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Bahasa-bahasa yang dibawa moyang dari Yunnan ini kemudian mengalami percampuran, baik dengan bahasa lokal maupun bahasa ibu kaum pendatang, sehingga mengalami perubahan dari kosakata dan struktur kalimat, dan perkembangan yang bersifat majemuk menjadi sistem bahasa Melayu terawal, yaitu bahasa Melayu kuno. Tulisan yang dipergunakan adalah huruf/aksara Sansekerta- Jawa Kuno, yaitu tulisan (huruf/aksara) Pallawa.
Bahasa Melayu kuno yang ada di dalam masyarakat itu sendiri terbagi menjadi tiga tataran atau kelompok utama, yaitu
(1) Melayu tinggi, yaitu bahasa Melayu sebagaimana dipakai dalam kitab sejarah Melayu, yang dipergunakan oleh kaum bangsawan, para cerdik-cendekia untuk menuliskan ilmu dan pengetahuannya, yang dipakai oleh para sastrawan untuk menulis karya sastra, dan orang-orang penting di lingkungan kerajaan yang berhubungan dengan kekerabatan kebangsawanan. Jadi, bahasa ini bersifat istanasentris yang biasa ditemukan di dalam karya sastra yang berbentuk hikayat seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Muhammad Ali Hanafiah, Hikayat Amir Hamzah, Bustanus Salatin, Sulalatus Salatin, Sejarah Melayu, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Hang Tuah, dan Tajus Salatin. Bentuk yang lebih formal, disebut Melayu Tinggi, pada masa lalu digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya , dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu Pasar.
(2) Melayu rendah, yaitu bahasa Melayu pasar atau pula bahasa Melayu campuran. Bahasa Melayu rendah atau pasar ini digunakan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat dan mengabaikan status atau golongan penutur. Bahasa Melayu rendah atau pasar ini juga dipergunakan oleh para pedagang asing, pelancong, dan misionaris ketika mereka mendatangi kawasan Nusantara. Perkembangan perbendaharaan kosakata bahasa Melayu pasar ini sangat pesat sesuai dengan tingkat kebutuhan penutur bahasa. Para saudagar, peneliti-penulis, misionaris (zending), dan sebagainya berkecenderungan menggunakan kelas bahasa ini karena masyarakat tempat mereka belajar menggunakan kelas bahasa ini.
Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu Pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya Melayu Tinggi. Pemerintah Belanda berusaha meredamnya dengan memromosikan bahasa Melayu Tinggi dan melarang bahasa Melayu Pasar, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Dengan demikian, Penerbit Balai Pustaka perlu mengadakan sensor ketat terhadap karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu. Tetapi bahasa Melayu Pasar sudah terlanjur diadopsi oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia .
(3) Melayu daerah, yaitu bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh dialek-dialek tertentu. Bahasa Melayu yang sudah banyak bercampur dengan bahasa Arab, Cina, atau dipengaruhi tradisi lokal si penutur. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah bahasa Melayu Minangkabau yang dipergunakan oleh para sastrawan Angkatan Pujangga Baru (tahun 1930-an). Kelas bahasa ini tidak berkembang meluas, namun hanya bersifat kedaerahan. Namun demikian, peran mereka dalam perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sangatlah besar melalui karya-karya sastra mereka.
Proses terbentuknya bahasa Melayu yang dipergunakan di berbagai daerah di Nusantara ini sebenarnya sangat panjang dan berbelit-belit. Para ahli bahasa (linguis), arkeolog, antrolopog, dan kompetensi-kompetensi lain belum memiliki kesepakatan tentang asal-usul bahasa Melayu. Namun demikian, ada pendapat yang bpopular yang menyatakan bahwa pentutur-pentutur bahasa Melayu berasal daripada golongan Austronesia yang datang sejak 2.500 Sebelum Masehi dari daerah Yunnan dalam beberapa bentuk gelombang pergerakan manusia dan menduduki wilayah Asia Tenggara.
Golongan pertama ini dipanggil Melayu Proto. Kemudian,pada kira-kira tahun 1500 SM, datang golongan kedua dari asia selatan ( India ) menduduki daerah pantai dan tanah lembah di Asia Tenggara yang dipanggil Melayu Deutro.
Diagram rumpun bahasa Austronesia
1.Taiwanik
a..bahasa At ayalik
b. bahasa Tsouik
c. bahasa Paiwanik
d. bahasa Taiwanik Barat
e. bahasa Taiwanik yang
terpengaruh bahasa Tiong
2.Melayu PolineSia
Barat : Bahasa Bor neo ,Philipina Utara ,Philipina Tengah ,Philipina Selat an ,Mindanao Selatan .Sama-Baj au ,Sulawesi bahasa Sundik : bahasa Jawa, bahasa Melayu
(dan bahasa Indonesia),
bahasa Sunda, bahasa Madura,bahasa Aceh, bahasa Bat ak dan bahasa Bali (dengan jumlah penut ur t erbesar)
Tengah : Bima-Sumba , Maluku tengah , Maluku tenggara ,Timor-Flores
Timur : Halmahera Salatan , Papua Barat LAut.
Kuatnya bahasa melayu di Bangka
Bahasa Melayu Kuno memiliki keunikan perkembangan yang luar biasa, yaitu penyesuaian antara bahasa Melayu terhadap bahasa Sanskerta. Hal ini disebabkan oleh adanya gelombang besar kedatangan pedagang dan misionaris dari India pada awal abad ke-4. Para misionaris dan pedagang yang menggunakan bahasa Sansekerta menyebarkan keyakinan mereka dan mulai memelajari bahasa Melayu untuk menulis dan mengalihbahasakan kitab-kitab cerita dan keagamaan, di samping untuk tujuan praktis, yakni berkomunikasi dengan penduduk lokal di samping menyebarkan keyakinan mereka.
Pada waktu mengadakan komunikasi antara penutur bahasa asli (Melayu kuno) dengan pendatang terjadilah pertukaran berbagai informasi, baik yang berciri kebahasaan, politik, budaya, maupun lainnya. Tentu saja, berbagai informasi yang disampaikan oleh kaum pendatang tidak dapat diterima secara penuh oleh penduduk lokal. Demikian pula sebaliknya. Di sinilah terjadi proses pengalihan informasi dan pencampuran, yakni proses pembauran antara bahasa lokal dengan bahasa ibu penutur yang datang dari luar. Perlu juga diketahui bahwa berdasarkan bentuk (tipologi) fonologi (sistem bunyi) bahasa–bahasa rumpun Austronesia tergolong sederhana. Para penutur bahasa ini biasanya tidak menyukai sukukata-sukukata tertutup dan menghindari gugusan-gugusan konsonan (kluster, misalnya padaIndische Sociaal
Keunikan atau kehebatan yang paling menonjol dari bahasa Melayu adalah sifatnya yang terbuka untuk menerima kosakata bahasa asing. Bahasa Melayu membuka diri untuk dilengkapi tuturannya dan kosakatanya sehingga dianggap sudah memenuhi unsur keutuhan pesan. Sedikit demi sedikit bahasa Melayu memungut kosakata lokal dan asing. Dengan demikian kosakata bahasa Melayu bertambah dan semakin mantab sebagai alat komunikasi. Jauh sebelum dikenal bahasa Melayu dengan tulisan Pallawa, di Nusantara ini sudah mengenal beragam aksara. Aksara-aksara yang dipergunakan di Nusantara merupakan turunan dari Aksara Pallawa yang berasal dari India bagian selatan. Aksara Pallawa sendiri merupakan turunan dari Aksara Brahmi. Aksara Brahmi ini adalah cikal-bakal semua aksara di daerah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara ini berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacarawaprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan Aksara Pallawa dan Bahasa Sanskerta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada
yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar Abad IV.
Sebagaimana halnya dengan identitas budaya lokal di Nusantara, maka pada masa kini Aksara Nusantara merupakan salah satu warisan budaya yang nyaris punah. Oleh karena itu, beberapa pemerintah daerah yang merasa tergugah untuk menjaga kelestarian budaya tersebut membuat peraturan-peraturan khusus mengenai pelestarian aksara daerah masing-masing. Latar belakang inilah yang akhirnya antara lain menjadi dasar munculnya Aksara Sunda Baku.
Kosakata dan perkembangan bahasa Melayu ini tidak seperti sekarang. Berbeda dengan zaman sekarang yang sudah bisa mengandalkan teknologi rekaman digital, di zaman dulu para leluhur kita mengekspresikan keinginan jiwanya dengan berbagai bentuk dan cara-cara yang masih dianggap tradisional dan primitif atau sekurang- kurangnya konvensional. Cara-cara tradisional dan primitif untuk mengekspresikan jiwa itu bisa berbentuk, antara lain
a. Pahatan-pahatan batu, atau logam, biasa disebut prasasti1 atau Yupa2, dan Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, dimana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Ilmu yang mempelajari prasasi disebut Epigrafi. Kata prasasti berasal dari bahasa Sansekerta. Secara leksikal berarti “pujian”. Namun dalam perkembangannya dianggap sebagai “piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan”. Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut inskripsi, sementara dikalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.
Berbagai peristiwa yang berkait dengan kehidupan politik (kebijaksanaan raja), kebudayaan, pemerintahan, keagamaan, dan kesusastraan biasanya yang menjadi latar belakang mengapa catatan-catatan itu dibuat. Tidak jarang pula prasasti atau batu bertulis berisi perintah raja, permintaan pendeta, atau bahkan kutukan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dianggap berkhianat kepada raja atau kerajaan.
Hal ini yang membuka kesempatan kepada para pendatang maupun penduduk local memergunakan bahasa Melayu. Bukti bahwa bahasa Melayu sudah menjadilingua- francadi zaman Sriwijaya adalah ditemukannya berbagai prasasti. Di antaranya adalah Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi (686 Masehi atau 608 çaka) yang berisi permohonan kepada Yang Mahakuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para pengkhianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Prasasti ini juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Nama Sriwijaya sendiri terpahat pada prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan M. Bratenburg, seorang berkebangsaan Belanda, pada 29 November 1920 di Kedukan Bukit, Sumatera Selatan, di tebing Sungai Tantang. Batu prasasti tersebut berukuran 46 x 80 cm di temukan di Sungai Tatang di Sumatera Selatan yang berangka tahun 683 Masehi atau 605 Saka.
Prasasti-prasasti yang ditemukan itu memuat bahasa dan tulisan Melayu Kuno yang bercampur dengan bahasa Sansekerta. Ini membuktikan bahwa jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya berdiri, bahasa Melayu kuno sudah menjadi bahasa pergaulan, perniagaan, alat komunikasi antarsuku bangsa, dan alat penyebaran agama. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Melayu memiliki fleksibilitas yang tinggi, sehingga pemelajar asing dapat dengan mudah memelajari bahasa Melayu.
Bahasa Melayu yang berkembang di zaman kejayaan Kerajaan Sriwijaya mendapat kehormatan dipergunakan sebagai bahasa resmi kerajaan. Hal ini dimungkinkan karena letak strategis kerajaan yang berada di Selat Malaka sehingga bahasa Melayu dipelajari oleh para saudagar yang akan mengadakan perniagaan atau yang lainnya di Nusantara. Para pedagang yang berdatangan dari barat dan timur serta dari Kepulauan Nusantara mengadakan transaksi sudah tentu harus dengan menggunakan bahasa Melayu.
KELAHIRAN BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia memiliki pengertian ‘bahasa yang dipergunakan oleh bangsa Indonesia ’. Kapan bangsa Indonesia lahir? Mudah sekali untuk menjawabnya, yaitu ketika organisasi kepemudaaan yang bertebaran di seluruh wilayah Nusantara ini bersatu-padu dan berikrar pada hari yang sangat bersejarah bagi rakyat dan bangsa Indonesia , Sumpah Pemuda. Di hari itulah bangsa Indonesia secarade facto ada. Kata Indonesia sendiri memiliki sejarah yang cukup unik. Seorang ahli bahasa, Logan , menulis artikel yang berjudulThe Ethnology of the Indian Archipelago. Ia lebih setuju nama "Indunesia" ciptaan Earl, tetapi huruf "U" diganti dengan huruf "O" agar ucapannya lebih baik. Muncullah nama " INDONESIA " yang menurut Logan dibentuk dari dua kata, yaituIndia (=selatan) dannesia (=kepulauan). Paduan kata India-nesiamenimbulkan perubahan indiamenjadi indomenurut aturan sandi dalam ilmu bahasa. Logan juga menyatakan, "Untuk nama "Indian Archipelago" sebagai ajektif atau bentuk etnografis, Earl menganjurkan memakai istilah Etnografis Indunesiansdan menolak Melayunesian. Saya sendiri lebih suka istilah yang memakai istilah Geografis, Kepulauan Hindia.Indonesia merupakan sinonim terdekat denganIndian Island atauIndian Archipelago. Kita akhirnya menerima Indonesiansebagai Indian Archipelagodan Archipelagicserta Indonesianssebagai Indian Archipelaiansdan Indian Islanders.
Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam bahasa daerah yang dimilikinya memerlukan adanya satu bahasa persatuan guna menggalang semangat kebangsaan. Semangat kebangsaan ini sangat penting dalam perjuangan mengusir penjajah dari bumi Indonesia . Kesadaran politis semacam inilah yang memunculkan gagasan pentingnya bahasa yang satu, bahasa persatuan, bahasa yang dapat menjembatani keinginan berbagai suku bangsa dan budaya di Indonesia saat itu.
Bangsa Indonesia adalah sekolompok suku bangsa yang berbeda warna kulit. Sumatera yang sudah berbaur dengan suku bangsa Yunan ( China ) dan Arab ada yang berkulit kuning tetapi ada pula yang berciri fisik orang Arab, khususnya di Aceh. Jawa yang didominasi India banyak yang berkulit sawo matang. Ternate, Ambon, Sumbawa , Bima, dan pulau-pulau di wilayah timur agak berbeda dengan Jawa dan Sumatera. Irian pun berbeda pula. Namun demikian, perbedaan-perbedaan itu mereka abaikan demi tujuan luhur, yaitu Indonesia Merdeka.
Alasan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional adalah sebagai berikut.
(1) Bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya dipakai sebagailingua franca (bahasa perantara atau bahasa pergaulan di bidang perdagangan), bahasa yang digunakan oleh para misionaris Hindu, Budha, Kristen, dan Islam dalam penyebaran agama di seluruh kota pelabuhan di Indonesia .
(2) Bahasa Melayu mempunyai struktur kalimat sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah dikembangkan pemakaiannya, dan mudah menerima pengaruh luar untuk memperkaya dan menyempurnakan fungsinya sebagai alat
komunikasi. Bahasa Melayu tidak mengenal bentuk ‘tenses’ dan ‘pronoun’
seperti bahasa Inggris, Belanda, atau Arab. Tidak pula serumit bahasa Jawa
yang mengenal perbedaan dan pembedaan pengguna serta penggunaannya.
(3) Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan perbedaan status sosial pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan sentimen dan perpecahan.
(4) Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain
untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
5) Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan golongan mayoritas di Republik Indonesia .
(6) Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
(7) Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis.
(8) Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia . Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia , Brunei , dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
(9) Bahasa Melayu adalah bahasa yang dinamis, dan dengan kedinamisannya itu bahasa Melayu terus mengembangkan diri dengan menerima dan/ atau menyerap kosakata dari bahasa asing maupun lokal.
Jadi, bahasa Indonesia terbukti mampu mengakomodasi kata-kata dari banyak bahasa, yaitu Arab, Belanda, Inggris, Latin, Perancis, Sansekerta, Spanyol, Tionghoa, Yunani dan lain lain
Langganan:
Postingan (Atom)