"Kesadaran Diri" Sastra Melayu Dalam Zaman Klasik (Sebuah Rekonstruksi)
Sastra tradisional Melayu kekurangan karangan karangan yang bersifat teori dan ilmu puitika yang memungkinkan untuk memasuki masalah kesadaran diri sastra pada penciptanya. Namun, dalam sebuah kata pengantar suatu karangan, terkandung cukup bahan untuk merekonstruksi "kesadaran diri" sastra dalam periode klasik (yakni akhir abad 16 sampai awal abad 19). Unsur yang penting dalam merekonstruksi kesadaran diri adalah kata pengantar dan epilog karangan. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan penghubung antara karangan dengan Universum atau Alam Semesta yang merupakan sebuah sistem menyeluruh yang memusat (sentripetal).
Contoh rekonstruksi "Kesadaran Diri" pada Sastra Jawa Kuno dikemukakan oleh P. Zoetmulder (1974:173-196) pada pendahuluan (manggala) kakawin. Manggala ini berisi tentang seluk beluk kehidupan penyair Jawa Kuno.
Kata pengantar dan Epilog digunakan sebagai bahan utama untuk merekonstruksi "kesadaran diri" karena mudah diperoleh. Kata pengantar dan epilog selain dapat ditemukan pada penerbitan karangan karangan, juga terdapat dalam katalog naskah melayu (Ronkel 1909, 1921 dll) dimana kutipan kata pengantar epilog digunakan sebagai identifikasi karangan yang bersangkutan.
Kata pengantar karangan puitis (syair) berbeda panjangnya dalam setiap karangan. Di dalamnya berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, motivasi pengarang, tujuan penciptaan syair, kendala yang dihadapi dan upaya mengatasinya, serta kekurangan karangan.
Kata pengantar karangan syair lebih rinci daripada kata pengantar prosa. Kata pengantar pada karangan prosa sering disederhanakan tanpa mengubah inti semantiknya.
Kata pengantar memanifestasikan konsep Penciptaan melalui perantaraan manusia. Konsep muslim tentang penciptaan melalui perantaraan manusia digunakan sebagai dasar teori, paradigma, terhadap segala bentuk aktivitas termasuk aktivitas literer.
Penciptaan dilaksanakan dalam dua taraf. Taraf pertama ialah penciptaan kesadaran ilahi, yang meliputi ide ide segala benda yang dalam keadaan potensial dan tidak pandang bulu. Lebih tepatnya ialah keluarnya ide tentang suatu benda dari kesatuan sistetis. Taraf kedua, menyusul diucapkannya kata kreatif "kun!", yaitu turunnya ide tentang benda ke dalam dunia materi (alam wadak) dan diterimanya wujud aktual olehnya.
Dalam tahap Penciptaan, struktur kosmos (makrokosmos) serupa dengan struktur jiwa manusia (mikrokosmos). Jiwa manusia merupakan suatu struktur rumit yang tersusun secara hierarkis, dengan fungsi fungsi (kekuatan, quwat) yang lebih rendah melayani yang lebih tinggi.
Persepsi Tentang Inspirasi
(Tahap Reseptif Dalam Proses Kreasi)
Diskripsi mengenai "tahap reseptif" dalam proses kreasi, yang khas bagi syair melayu, dimulai dengan seruan kepada Allah disusul kemudian motif yang berulang ulang.
"Bismillah itu mula dikata
Limpah rahmat terang cuaca
kepada mu'min hati nurani
Di situlah tempat mengasihani" (Raja Iskandar bin Raja Muhd. Zahid 1966:30)
Hakikat kutipan tersebut dapat dirumuskan bahwa dengan menyebut Tuhan dengan nama nama Allah, Rahman (Pengasih) dan Rahim (Penyayang), penyair memohon padaNya agar memberikan rahmat yang melimpah.
Rahmat Ilahi
Baris awal kata pengantar mengandung dan memberi tafsir pada doa "Bismillah ar Rahman ar Rahim" yang memberi sequan pada Allah sebagai Pencipta segala yang ada. Misal pada syair Yahya:
"Bismillah itu permualaan kalam,
Dengan nama khalik al Alam,
Limpah rahmat siang dan malam,
Kepada hambanya segala Islam" (Ronkel 1909:322)
Menurut ajaran tentang tujuh tingkatan (Martabat Tujuh) dari turunnya Wujud keesaan Mutlak kepada keanekaan dunia gejala. Nama Allah berkaitan dengan martabat kedua, yaitu wahdat. Nama Rahman (Pengasih) berkaitan dengan martabat ketiga yakni Wahidiyat.
Selanjutnya disebut Rahman sebagai pemberi wujud segala benda, dan nama Rahim memberi wujud pada benda tertentu saja yang baik dan indah.
Dengan demikian, tindakan menciptakan karya sastra dilaksanakan berkat persepsi pengarang terhadap daya cipta ilahi (Persepsi ilham atau inspirasi ilahi). Inspirasi ini diasumsikan dengan banyaknya ide menulis, tercerahkannya jiwa dan sebagainya.
Nur Muhammda dan Syafaat Muhammad
Kata pengantar menjadi penghubung dunia insan (penyair, pengarang) dengan kegiatan penciptaan al khalik. Unsur ini ialah Cahaya (Cahaya rahmat, Cahaya Nurani, dan sebagainya) yang melimpah atas hati yang safi, yaitu jiwa yang terterangi, dan yang dapat ditangkap olehnya, Lambang cahaya (Cahaya inspirasi) berhubungan erat dengan paham tentang berkat Muhammad atau berkat syafa'at. Berkat ini ditafsirkan sebagai permintaan Muhammad di hadapan Allah agar menganugerahi kemampuan menciptakan karya.
Muhammad sebagai Logos (Nur Muhammad, Hakikat Muhammad) merupakan pengetahuan ilahi yang meliputi segala Maujudat (benda benda ciptaan) yang pertama tama dinyatakan keluar. Dalam doktrin martabat Tujuh, konsep Muhammad sebagai Logos berkaitan dengan martabat yang disebut Wahdat (Johns. 1957:21).
Unsur Unsur Proses Penciptaan di Tahap Reseptif
Sifat Weltanschaung Muslim Zaman Pertengahan yang sangat sistematis menyebabkan ditemukannya sejumlah keterangan yang memungkinkan untuk merekonstruksi proses kreatif jika dipandang secara menyeluruh. Dalam merekonstruksi proses kreatif terdapat hubungan paralel antara ontologi dan psikologi Muslim Tradisional. Naguib Al Attas (1970:71-72, 155-157:1971:42-44) membedakan dalam beberapa tingkatan
Pertama (sama dengan Arasy). Pada tingkat ini benda benda yang akan diciptakan ada dalam pengetahuan Ilahi berupa ide ide umum.
Kedua (sama dengan Kursi). Pada tingkatan ini, ide ide dari benda seakan muncul satu demi satu.
Ketiga. Pada tingkatan ini, kalam Tertingi (Qalam Al Ala) mencatat bentuk benda benda yang diciptakan Lauh al Mahfuz dan patuh pada sabda penciptaan "kun!".
Keempat. Pada tingkat ini terjadi materialisasi dari bentuk bentuk ideal dalam dunia jasmaniah, dimana ide menjadi benda benda aktual.
Dalam karya karya puisi, terdapat 3 hal yang menjadi unsur tipikal, yakni "intelek"(akal atau hati nurani)->jiwa (hati, kalbu, nyawa)->tangan (perbuatan penetapan) atau karya sastra sebagai hasil penetapan.
Akal merupakan aspek intelektual ruh insani, yang mampu memasuki dunia tersembunyi (alam ghaib) yang tidak kasat mata. Akal juga merupakan "tuan bagi jiwa".
Jiwa merupakan tempat gabungan antara yang dikognisi secara intelektual (dunia notmenal) dan yang dikognisi secara sensual (dunia fenomenal). Tradisi Muslim membedakan funhsi inheren di dalam jiwa menjadi dua. Pertama 'indra dalam' (batin) dan 'indra luar'(lahir, zahir) yang masing masing dipandang sebagai aspek aspek indrawi dan psikis pada jiwa.
Psikologi Perbuatan Penciptaan Sebagai Keseluruhan Yang Dinamis
Dalam Tradisi Melayu, terdapat dua jalan yang ditempuh para pengarang pada tingkat reseptif dalam perbuatan kreatif. Jalan pertama biasanya ditempuh kaum berilmu (pandhita) yang berhubungan dengan asimilasi ide ide umum. Ide ide ditangkap dari luar (terutama dari gurunya), lalu disampaikan ke imajinasinya, hingga akhirnya menemukan penetapanya dalam karangan.
Jalan kedua dihubungkan dengan inspirasi dari atas, persepsi langsung pengarang terhadap Daya Cipta Allah yang dinyatakan di dalam Nabi Muhammad sebagai Logos. Jalan ini biasanya ditempuh oleh pengarang muda yang belum cukup ilmunya dan kurang sempurna akalnya.
Penciptaan Karya Sastra
(Tahap Agentif dalam Proses Kreasi)
Menurut teori sastra Islam turunnya Sastra dari tingkatan ide ide citra ke tingkatan benda benda yang berwujud pada dunia material, harus dilakukan dengan cara yang benar.
Aspek terpentin dalam penurunan ini adalah kesesuain antara kata dengan citra ideal, struktur komposisi yang rapi, dan dinyatakan citra ideal dengan cara seefektif efektifnya. Di dalam teori sastra mengetahui ciri teori Sastra Melayu Tradisional (Ilm al Balagha) digunakan sebagai pembanding prinsip di dalamnya.
Pernyataan Yang Tersirat (Makna) melalui yang tersurat (Kata)
Penjelasan paling lengkap tentang pernyataan arti yang benar di dalam karangan sastra, tersimpul dalam kata pengantar dan epilog Taj as Salatin. Ini pula yang menjadi kunci untuk memahami kata pengantar pada banyak karya klasik lainnya.
"Kitab ini yang Maha Mulia dikarangkan pada menyatakan peri pekerjaan segala raja...dengan ibarat yang amin (atau "yang ikhsan" [Khalid Hussain 1966:5]:V.B dan yang sempurna, supaya orang beroleh dari pada bacanya manfaat dan dari pada menurut katanya martabat"(Roorda Van Eysinga 1827:5).
Ilmu Fasihat Arab dan Doktrin Melayu Tentang Pernyataan Makna : Suatu Perbandinan
Teori "ilmu fasihat" (Ilm al Balagha) dikembangkan oleh Abd Al Qahir al Jurjani dan pengikutnya. Teori ini memadukan pengalaman kajian Stilistika Al Quran yang 'tak bertara' (I'jaz al Quran) maupun kritik karangan puisi.
Dua konsep dasar retorika dan puitika Arab adalah Lafz dan Ma'na (lafal dan makna). Lafz (kompleks suara yang diartikulasi, suatu kata terpisah atau suatu totalitas kata dalam aspek fonetik) ialah aspek lahiriah bahasa yang material, yang ditangkap telinga. Sedangkan Ma'na (jamak Ma'ani) oleh para peneliti ilmu puitika Arab Parsi diterjemahkan dalam berbagai pengertian. Terkadang sebagai ide puitis (Ibn Khaldun 1958:3:399-406), terkadang sebagai motif puitis atau pikran dan citra.
Kesesuaian Lafz denan Ma'na merupakan ide terpentin dalam ilmu puitika Arab. Ide ini dikembangkan dalam kitab Abd. Al Qahir al Jurjani, Dala'il al i'jaz (bukti bukti ketiadataraan Al Quran). Di dalamnya Lafz dan Ma'na dikemukakan sebagai dua struktur yang saling bersesuain dan tersusun secara benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar