1. Pengantar
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melatih mahasiswa melakukan studi lapangan (field study) guna menerapkan teori-teori yang telah dikenal melalui kegiatan perkuliahan dan diskusi (tanya jawab di kelas). Juga kegiatan dimaksudkan untuk melatih mahasiswa melakukan kegiatan analisis kebahasaan yang berkaitan dengan bidang morfologi yang kemudian dituangkan dalam bentuk laporan studi lapangan berupa makalah. Objek studi lapangan ditentukan tidak hanya aspek morfologis bahasa Indonesia, tetapi juga aspek morfologis bahasa-bahasa daerah yang dikuasai oleh mahasiswa. Melalui kegiatan secara terprogram dan terarah, mahasiswa melakukan survei lapangan – dalam bentuk studi kepustakaan atau studi lapangan – untuk mengumpulkan data-data kebahasaan sesuai dengan topik yang telah ditentukan.
Kegiatan pengumpulan data dilakukan sesuai dengan bidang tugas timnya masing-masing. Setelah data terkumpul dan dipandang mencukupi serta representatif, kegiatan berikutnya segera dilakukan klasifikasi data yang telah diperoleh sesuai degan tujuan analisis. Selanjutnya, berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan telah diklasifiksikan, mahasiswa melakukan analisis untuk menyajikan (menulis) sebuah makalah. Di luar kegiatan penyajian (penulisan), mahasiswa dituntut untuk melakukan kontak diskusi sehubungan dengan topik yang sedang dianalisis. Semua tahapan kegiatan harus dilakukan sesui dengan jadwal yang terleh ditetapkan.
2. Topik Penelitian
Topik penelitian untuk penyusunan makalah berupa aspek morfologi bahasa Indonesia. Tiap topik dikerjakan secara mandiri (oleh tiap mahasiswa). Langkah kegiatan penyelesaian tugas rumah meliputi: survei (dalam rangka pengumpulan data), pengklasifikasian data, dan kegiatan analisis data (penulisan makalah).
3. Kerja Penyusunan Makalah
Lakukan analisis secara deskriptif afiks-afiks dalam bahasa Inodnesia dalam konteks pemakaian bahasa.(sesuai dengan topik masing-masing). Deskripsi (analsis) itu dilakukan untuk mengetahui perilaku afiks-afiks atas fungsi atau peran serta makna gramatik yang ditimbulkannya.
3. Langkah kerja yang harus dilakukan adalah:
(1) Pengumpulan data
Melakukan survei lapangan atau studi pustaka untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Data dapat diambil dari buku teks apa saja (buku pelajaran SD hingga universitas, novel, surat kabar, dan majalah). Khusus dari majalah dan surat kabar, jika data diambil dari ragam bahasa jurnalisistik, susun ulang kalimat tersebut agar menjadi kalimat baku (bukan ragam jurnalisitik). Data disajikan dalam bentuk kalimat tunggal atau kalimat majemuk. Jika sangat diperlukan, dapa dapat disajikan dalam bentuk alinea (sejauh hal itu dibutuhkan untuk keperluan analisis). Data juga dapat dibuat sendiri oleh penulis sebagai penutur asli dan diujikan pada penutur asli yang lain untuk menguji tingkat kegramatikannya (keberterimaannya) dan untuk menguji apakah struktur kalimat tersebut sudah benar.
Kumpulkan data pemakaian afiks dalam bentuk kalimat (tunggal atau majemuk) sejumlah yang dapat dijangkau dengan mempertimbangkan bentuk dasar yang memungkinkan dilekati oleh afiks tersbut, misalnya afiks meN- pada bentuk dasar berupa nomina (membatu, membudaya, mendarat), afiks meN- pada bentuk dasar pokok kata (menulis, mengambil, membaca), afiks meN- pada bentuk dasar verba (memindah, menurun, mengenal), dan afiks meN- pada bentuk dasar kata sifat (meluas, menyempit, melebar, jmenjauh). .
Contoh data yang digunakan dalam anilisis.
[1] Adonan semen itu membatu setelah dibiarkan selama empat jam.
[2] Tampaknya, hati orang itu telah membatu sehingga semua nasehat dan saran dari keluarga dan teman-teman dekatnya sudah tidak dihiraukan lagi.
[3] Pesawat itu mendarat di bandara pada pukul 07.15.
[4] Pemakaian telepon genggam sudah membudaya di kalangan masyarak sejak lima tahun lalu.
[5] Sejak istrinya meniggal dunia akibat penyakit yang dideritanya, Bayu Samudra menduda hingga kini.
(2) Klasifikasi data
Lakukan klasifikasi data sesuai dengan keperluan analisis yang akan dilakukan.
(3) Analisis data
Menyajikan hasil analisis dalam bentuk tulisan.(makalah).
Misalnya bahwa afiks meN- pada bentuk dasar nomina batu menjadi membatu mengandung makna ‘proses mengeras seperti batu’ dalam konteks tuturan (kalimat):
[1] Adonan semen itu membatu setelah dibiarkan selama empat jam.
[2] Tampaknya, hati orang itu telah membatu sehingga semua nasehat dan saran dari keluarga dan teman-teman dekatnya sudah tidak dihiraukan lagi.
. [3] ....
Hal-hal yang harus dilakukan:
misalnya, topik analisis Anda adalah afiks meN-
(a) Deskripsikan bahwa dalam bahasa Indonesia, misalnya, afiks meN- dapat melekat pada bentuk dasar nomina, verba dasar, adjektiva, numeralia, atau pronomina).
(b) Deskirpsikan fungsi yang diperankan oleh afiks meN- berkenaan dengan aspek derivasional atau inflesional.
(c) Deskripsikan makna (yaitu makna gramatikal) yang ditimbulkannya atas melekatnya afiks meN pada bentuk dasar itu.
4. Kalimat data yang Anda gunakan sebagai bahan analisis, baik yang digunakan sebagai pembuktian atau sebagai contoh deskripsi maupun tidak, disertakan dalam bentuk lampiran makalah setelah daftar pustaka. Halaman lampiran ditulis berlanjut setelah halaman daftar pustaka.
5. Kumpulkan tugas rumah Anda paling lambat pada pertemuan terakhir perkuliahan
( …. - .... - 2011).
6. Selamat berkarya. Semoga sukses meraih masa depan yang gemilang
7. Pembagian Tema:.
(1) afiks ber-
(2) afiks meN-
(3) afiks memper- dan –an
(4) afiks ter-
(5) afiks meN-/-kan
(6) afiks meN-/-i
(7) afiks memper-/-kan dan afiks memper-/-i
(8) afiks ber-/-an
(9) afiks peN-/-an dan afiks per-/-an
(10) afiks ke-/-an
(11) kata ulang
(12) ...
8. ...
Blog berisi materi kuliah, goresan peristiawa yang berwujud cerita, dan beberapa untai sajak saya
Selasa, 24 Mei 2011
Kamis, 05 Mei 2011
sekilas Tentang Sasindo
Sekilas Tentang Sasindo
Jurusan Sastra Indonesia (atau nama kerennya Sasindo) , hmmm…. apa yang pertama kali terlintas di benak kita ketika pertama kali mendengar ada Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UGM?. Mungkin hal pertama yang berkelebat di benak kita adalah sebuah jurusan yang mengajari mahasiswanya menulis puisi yang indah atau membuat cerita pendek (cerpen) dan novel yang bagus serta drama yang berkualitas. Sehingga setelah lulus dan mendapatkan gelar sarjana sastra kita beranggapan akan langsung bisa menjadi penyair ulung layaknya Chairil Anwar Sang Binatang jalang atau cerpenis handal semisal Seno Gumira Aji Dharma atau Triyantio Triwikromo yang cerpennya selalu dimuat di harian Kompas setiap bulannya, juga menjadi pengarang terkenal macam Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya dan Lady Writer: Dewi Lestari (Dee) dengan Perahu Kertasnya dan Ayu Utami yang terkenal lewat novelnya Saman dan Larung, serta menjadi dramawan semisal Riantiarno dengan Opera Kecoanya.
Sebenarnya pandangan umum semacam ini memang tidak sepenuhnya salah. Jurusan Sastra Indonesia memang sebuah jurusan yang berusaha mengkaji dan mendalami kesusastraan Indonesia seperti pengkajian terhadap puisi, novel, dan drama. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa fokus yang diterapkan, khususnya di UGM adalah mengarahkan mindset mahasiswanya sebagai seorang Ilmuan Sastra, bukan sebagai Penyair atau Pengarang. Mata kuliah yang didesain di Jurusan Sastra Indonesia pun menggiring pemikiran mahasiswanya untuk menempatkan diri sebagai pengkaji dan kritikus dari karya sastra yang pernah mewarnai jagad kesusastraan di Indonesia.
Dengan mendesain mata kuliah yang lebih mengutamakan teori sebagai pembangun kerangka berpikir, diharapkan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia mampu meneliti dan mengkaji sebuah karya sastra secara teoritis sehingga menghasilkan pemahaman tentang unsur-unsur dan nilai yang terkandung di dalam sebuah karya sastra hingga akhirnya bisa disampaikan secara jelas dan lugas kepada masyarakat. Jadi walaupun Jurusan Sastra Indonesia tidak mengarahkan pemikiran mahasiswanya untuk menjadi pengarang atau penyair yang handal, namun tidak menutup kemungkinan bahwa lulusan Sastra Indonesia mampu menjadi penulis atau penyair yang handal, apalagi jika kita telah dibekali dengan teori yang membangun sebuah karya sastra sehingga karya sastra yang kita hasilkan akan lebih bekualitas. Sebagai contoh, Ramayda Akmal, yang notabene adalah lulusan Jurusan Sastra Indonesia, lewat novelnya Jatisaba, mampu memenangkan ajang bergengsi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta yang diadakan tiap dua tahun sekali.
Selain mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kesusastraan Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia juga mempelajari seluk beluk pernaskahan Karya Sastra Melayu Klasik serta bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa yang kita gunakan sekarang, yakni bahasa Indonesia. Dari mata kuliah seputar Filologi dan Bahasa dan Sastra Melayu, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya bahasa yang dipakai Upin Ipin masih satu rumpun (masih saudara) dengan bahasa Indonesia, jadi tidak perlulah kita membesar-besarkan masalah dengan negara tetangga kita itu apalagi sampai membawa-bawa sentimen bahasa dan budaya, karena sebenarnya kita dengan mereka itu masih bersaudara.
Jika mereka mengaku-aku apa yang menjadi milik kita (yang sebenarnya juga masih milik mereka, karena masih bersaudara), tidak perlulah kita sampai berang apalagi mengancam perang, toh India pun tidak marah ketika kita mematenkan wayang dan mengaku kisah mahabarata sebagai karya milik kita.
Dan yang paling penting ketika masuk Jurusan Sastra Indonesia kita akan diajari bagaimana memahami struktur Bahasa Indonesia mulai dari fonem, kata, frasa, kalimat, hingga bagaimana menyusun sebuah paragraf dengan padu dan benar. Karena untuk mempelajari suatu karya sastra, kita perlu terlebih dahulu mempelajari bahasanya. Disinilah pengetahuan kita terhadap Bahasa Indonesia, yang notabene adalah bahasa ibu kita, lebih dimantapkan kembali dengan diadakannya mata kuliah Linguistik Indonesia.
Jadi Jurusan Sastra Indonesia membagi fokus pembelajaran menjadi tiga, yakni fokus pada bidang Sastra, Filologi, dan Lingusitik. Bagi mereka yang memliki kecenderungan lunatik (penghayal) dan memiliki daya imajinasi yang tinggi, serta ingin menjadi sastrawan (baik pengarang maupun kririkus sastra), maka fokus pada Sastra adalah pilihan yang tepat. Untuk mereka yang suka pada sejarah, terutama sejarah Karya Satra melayu Klasik dan memiliki jiwa peneliti dan petualang sejati (karena harus berburu naskah, bahkan sampai ke luar negeri), serta aingin menjadi seorang Filolog (ahli pernaskahan, terutama naskah-naskah klasik), maka fokus pada bidang Filologi adalah pilihan yang paling bijak. Sedangkan bagi mereka yang berkepribadian serius, memiliki motivasi kuat untuk mempelajari Bahasa Indonesia secara mendalam, dan ingin menjadi ahli bahasa (lazim disebut Linguis), maka bidang Linguistik adalah pilihan yang benar.
Selama ini banyak juga yang mengasumsikan bahwa lulusan Jurusan Sastra Indonesia sulit mendapatkan pekerjaan, namun hal itu hanyalah anggapan tak berdasar yang hanya berdasarkan pemikiran yang dangkal saja. Lulusan Sastra Indonesia bisa menjadi apa saja yang meraka inginkan, tergantung minat dan kemampuan.Soal penghasilan, pastilah akan menyusul seiring karir kita di bidang yang ingin digeluti. Mayoritas lulusan Sastra Indoneia memlih menjadi dosen karena selain cukup menjanjikan secara finansial, karirnya juga relatif stabil. Namun banyak pula yang memilih bekerja sebagai wartawan, menjadi script writer di televisi maupun di perfilman, dan menjadi seorang novelis atau pengarang.
Jadi kesimpulannya, sebagai generasi muda, sudah seyogianya kita menilik kembali apa yang kita miliki, dan tidak turut larut dalam euforia dan hegemoni budaya asing yang masuk ke Indonesia. Jadi, kalau bukan kita yang mempelajari bahasa dan sastra kita sendiri, lalu siapa lagi? Apakah kita mau kalah dengan orang asing dari berbagai negara seperti China, Japang, Korea, Australia hingga prancis yang justru sangat bersemangat dalam mempelajari bahasa dan satra Indonesia, apa kita tidak malu?... Salam Budaya!
Jurusan Sastra Indonesia (atau nama kerennya Sasindo) , hmmm…. apa yang pertama kali terlintas di benak kita ketika pertama kali mendengar ada Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UGM?. Mungkin hal pertama yang berkelebat di benak kita adalah sebuah jurusan yang mengajari mahasiswanya menulis puisi yang indah atau membuat cerita pendek (cerpen) dan novel yang bagus serta drama yang berkualitas. Sehingga setelah lulus dan mendapatkan gelar sarjana sastra kita beranggapan akan langsung bisa menjadi penyair ulung layaknya Chairil Anwar Sang Binatang jalang atau cerpenis handal semisal Seno Gumira Aji Dharma atau Triyantio Triwikromo yang cerpennya selalu dimuat di harian Kompas setiap bulannya, juga menjadi pengarang terkenal macam Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya dan Lady Writer: Dewi Lestari (Dee) dengan Perahu Kertasnya dan Ayu Utami yang terkenal lewat novelnya Saman dan Larung, serta menjadi dramawan semisal Riantiarno dengan Opera Kecoanya.
Sebenarnya pandangan umum semacam ini memang tidak sepenuhnya salah. Jurusan Sastra Indonesia memang sebuah jurusan yang berusaha mengkaji dan mendalami kesusastraan Indonesia seperti pengkajian terhadap puisi, novel, dan drama. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa fokus yang diterapkan, khususnya di UGM adalah mengarahkan mindset mahasiswanya sebagai seorang Ilmuan Sastra, bukan sebagai Penyair atau Pengarang. Mata kuliah yang didesain di Jurusan Sastra Indonesia pun menggiring pemikiran mahasiswanya untuk menempatkan diri sebagai pengkaji dan kritikus dari karya sastra yang pernah mewarnai jagad kesusastraan di Indonesia.
Dengan mendesain mata kuliah yang lebih mengutamakan teori sebagai pembangun kerangka berpikir, diharapkan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia mampu meneliti dan mengkaji sebuah karya sastra secara teoritis sehingga menghasilkan pemahaman tentang unsur-unsur dan nilai yang terkandung di dalam sebuah karya sastra hingga akhirnya bisa disampaikan secara jelas dan lugas kepada masyarakat. Jadi walaupun Jurusan Sastra Indonesia tidak mengarahkan pemikiran mahasiswanya untuk menjadi pengarang atau penyair yang handal, namun tidak menutup kemungkinan bahwa lulusan Sastra Indonesia mampu menjadi penulis atau penyair yang handal, apalagi jika kita telah dibekali dengan teori yang membangun sebuah karya sastra sehingga karya sastra yang kita hasilkan akan lebih bekualitas. Sebagai contoh, Ramayda Akmal, yang notabene adalah lulusan Jurusan Sastra Indonesia, lewat novelnya Jatisaba, mampu memenangkan ajang bergengsi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta yang diadakan tiap dua tahun sekali.
Selain mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kesusastraan Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia juga mempelajari seluk beluk pernaskahan Karya Sastra Melayu Klasik serta bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa yang kita gunakan sekarang, yakni bahasa Indonesia. Dari mata kuliah seputar Filologi dan Bahasa dan Sastra Melayu, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya bahasa yang dipakai Upin Ipin masih satu rumpun (masih saudara) dengan bahasa Indonesia, jadi tidak perlulah kita membesar-besarkan masalah dengan negara tetangga kita itu apalagi sampai membawa-bawa sentimen bahasa dan budaya, karena sebenarnya kita dengan mereka itu masih bersaudara.
Jika mereka mengaku-aku apa yang menjadi milik kita (yang sebenarnya juga masih milik mereka, karena masih bersaudara), tidak perlulah kita sampai berang apalagi mengancam perang, toh India pun tidak marah ketika kita mematenkan wayang dan mengaku kisah mahabarata sebagai karya milik kita.
Dan yang paling penting ketika masuk Jurusan Sastra Indonesia kita akan diajari bagaimana memahami struktur Bahasa Indonesia mulai dari fonem, kata, frasa, kalimat, hingga bagaimana menyusun sebuah paragraf dengan padu dan benar. Karena untuk mempelajari suatu karya sastra, kita perlu terlebih dahulu mempelajari bahasanya. Disinilah pengetahuan kita terhadap Bahasa Indonesia, yang notabene adalah bahasa ibu kita, lebih dimantapkan kembali dengan diadakannya mata kuliah Linguistik Indonesia.
Jadi Jurusan Sastra Indonesia membagi fokus pembelajaran menjadi tiga, yakni fokus pada bidang Sastra, Filologi, dan Lingusitik. Bagi mereka yang memliki kecenderungan lunatik (penghayal) dan memiliki daya imajinasi yang tinggi, serta ingin menjadi sastrawan (baik pengarang maupun kririkus sastra), maka fokus pada Sastra adalah pilihan yang tepat. Untuk mereka yang suka pada sejarah, terutama sejarah Karya Satra melayu Klasik dan memiliki jiwa peneliti dan petualang sejati (karena harus berburu naskah, bahkan sampai ke luar negeri), serta aingin menjadi seorang Filolog (ahli pernaskahan, terutama naskah-naskah klasik), maka fokus pada bidang Filologi adalah pilihan yang paling bijak. Sedangkan bagi mereka yang berkepribadian serius, memiliki motivasi kuat untuk mempelajari Bahasa Indonesia secara mendalam, dan ingin menjadi ahli bahasa (lazim disebut Linguis), maka bidang Linguistik adalah pilihan yang benar.
Selama ini banyak juga yang mengasumsikan bahwa lulusan Jurusan Sastra Indonesia sulit mendapatkan pekerjaan, namun hal itu hanyalah anggapan tak berdasar yang hanya berdasarkan pemikiran yang dangkal saja. Lulusan Sastra Indonesia bisa menjadi apa saja yang meraka inginkan, tergantung minat dan kemampuan.Soal penghasilan, pastilah akan menyusul seiring karir kita di bidang yang ingin digeluti. Mayoritas lulusan Sastra Indoneia memlih menjadi dosen karena selain cukup menjanjikan secara finansial, karirnya juga relatif stabil. Namun banyak pula yang memilih bekerja sebagai wartawan, menjadi script writer di televisi maupun di perfilman, dan menjadi seorang novelis atau pengarang.
Jadi kesimpulannya, sebagai generasi muda, sudah seyogianya kita menilik kembali apa yang kita miliki, dan tidak turut larut dalam euforia dan hegemoni budaya asing yang masuk ke Indonesia. Jadi, kalau bukan kita yang mempelajari bahasa dan sastra kita sendiri, lalu siapa lagi? Apakah kita mau kalah dengan orang asing dari berbagai negara seperti China, Japang, Korea, Australia hingga prancis yang justru sangat bersemangat dalam mempelajari bahasa dan satra Indonesia, apa kita tidak malu?... Salam Budaya!
Senin, 02 Mei 2011
Kesadarin Diri Sastra Melayu Klasik
"Kesadaran Diri" Sastra Melayu Dalam Zaman Klasik (Sebuah Rekonstruksi)
Sastra tradisional Melayu kekurangan karangan karangan yang bersifat teori dan ilmu puitika yang memungkinkan untuk memasuki masalah kesadaran diri sastra pada penciptanya. Namun, dalam sebuah kata pengantar suatu karangan, terkandung cukup bahan untuk merekonstruksi "kesadaran diri" sastra dalam periode klasik (yakni akhir abad 16 sampai awal abad 19). Unsur yang penting dalam merekonstruksi kesadaran diri adalah kata pengantar dan epilog karangan. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan penghubung antara karangan dengan Universum atau Alam Semesta yang merupakan sebuah sistem menyeluruh yang memusat (sentripetal).
Contoh rekonstruksi "Kesadaran Diri" pada Sastra Jawa Kuno dikemukakan oleh P. Zoetmulder (1974:173-196) pada pendahuluan (manggala) kakawin. Manggala ini berisi tentang seluk beluk kehidupan penyair Jawa Kuno.
Kata pengantar dan Epilog digunakan sebagai bahan utama untuk merekonstruksi "kesadaran diri" karena mudah diperoleh. Kata pengantar dan epilog selain dapat ditemukan pada penerbitan karangan karangan, juga terdapat dalam katalog naskah melayu (Ronkel 1909, 1921 dll) dimana kutipan kata pengantar epilog digunakan sebagai identifikasi karangan yang bersangkutan.
Kata pengantar karangan puitis (syair) berbeda panjangnya dalam setiap karangan. Di dalamnya berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, motivasi pengarang, tujuan penciptaan syair, kendala yang dihadapi dan upaya mengatasinya, serta kekurangan karangan.
Kata pengantar karangan syair lebih rinci daripada kata pengantar prosa. Kata pengantar pada karangan prosa sering disederhanakan tanpa mengubah inti semantiknya.
Kata pengantar memanifestasikan konsep Penciptaan melalui perantaraan manusia. Konsep muslim tentang penciptaan melalui perantaraan manusia digunakan sebagai dasar teori, paradigma, terhadap segala bentuk aktivitas termasuk aktivitas literer.
Penciptaan dilaksanakan dalam dua taraf. Taraf pertama ialah penciptaan kesadaran ilahi, yang meliputi ide ide segala benda yang dalam keadaan potensial dan tidak pandang bulu. Lebih tepatnya ialah keluarnya ide tentang suatu benda dari kesatuan sistetis. Taraf kedua, menyusul diucapkannya kata kreatif "kun!", yaitu turunnya ide tentang benda ke dalam dunia materi (alam wadak) dan diterimanya wujud aktual olehnya.
Dalam tahap Penciptaan, struktur kosmos (makrokosmos) serupa dengan struktur jiwa manusia (mikrokosmos). Jiwa manusia merupakan suatu struktur rumit yang tersusun secara hierarkis, dengan fungsi fungsi (kekuatan, quwat) yang lebih rendah melayani yang lebih tinggi.
Persepsi Tentang Inspirasi
(Tahap Reseptif Dalam Proses Kreasi)
Diskripsi mengenai "tahap reseptif" dalam proses kreasi, yang khas bagi syair melayu, dimulai dengan seruan kepada Allah disusul kemudian motif yang berulang ulang.
"Bismillah itu mula dikata
Limpah rahmat terang cuaca
kepada mu'min hati nurani
Di situlah tempat mengasihani" (Raja Iskandar bin Raja Muhd. Zahid 1966:30)
Hakikat kutipan tersebut dapat dirumuskan bahwa dengan menyebut Tuhan dengan nama nama Allah, Rahman (Pengasih) dan Rahim (Penyayang), penyair memohon padaNya agar memberikan rahmat yang melimpah.
Rahmat Ilahi
Baris awal kata pengantar mengandung dan memberi tafsir pada doa "Bismillah ar Rahman ar Rahim" yang memberi sequan pada Allah sebagai Pencipta segala yang ada. Misal pada syair Yahya:
"Bismillah itu permualaan kalam,
Dengan nama khalik al Alam,
Limpah rahmat siang dan malam,
Kepada hambanya segala Islam" (Ronkel 1909:322)
Menurut ajaran tentang tujuh tingkatan (Martabat Tujuh) dari turunnya Wujud keesaan Mutlak kepada keanekaan dunia gejala. Nama Allah berkaitan dengan martabat kedua, yaitu wahdat. Nama Rahman (Pengasih) berkaitan dengan martabat ketiga yakni Wahidiyat.
Selanjutnya disebut Rahman sebagai pemberi wujud segala benda, dan nama Rahim memberi wujud pada benda tertentu saja yang baik dan indah.
Dengan demikian, tindakan menciptakan karya sastra dilaksanakan berkat persepsi pengarang terhadap daya cipta ilahi (Persepsi ilham atau inspirasi ilahi). Inspirasi ini diasumsikan dengan banyaknya ide menulis, tercerahkannya jiwa dan sebagainya.
Nur Muhammda dan Syafaat Muhammad
Kata pengantar menjadi penghubung dunia insan (penyair, pengarang) dengan kegiatan penciptaan al khalik. Unsur ini ialah Cahaya (Cahaya rahmat, Cahaya Nurani, dan sebagainya) yang melimpah atas hati yang safi, yaitu jiwa yang terterangi, dan yang dapat ditangkap olehnya, Lambang cahaya (Cahaya inspirasi) berhubungan erat dengan paham tentang berkat Muhammad atau berkat syafa'at. Berkat ini ditafsirkan sebagai permintaan Muhammad di hadapan Allah agar menganugerahi kemampuan menciptakan karya.
Muhammad sebagai Logos (Nur Muhammad, Hakikat Muhammad) merupakan pengetahuan ilahi yang meliputi segala Maujudat (benda benda ciptaan) yang pertama tama dinyatakan keluar. Dalam doktrin martabat Tujuh, konsep Muhammad sebagai Logos berkaitan dengan martabat yang disebut Wahdat (Johns. 1957:21).
Unsur Unsur Proses Penciptaan di Tahap Reseptif
Sifat Weltanschaung Muslim Zaman Pertengahan yang sangat sistematis menyebabkan ditemukannya sejumlah keterangan yang memungkinkan untuk merekonstruksi proses kreatif jika dipandang secara menyeluruh. Dalam merekonstruksi proses kreatif terdapat hubungan paralel antara ontologi dan psikologi Muslim Tradisional. Naguib Al Attas (1970:71-72, 155-157:1971:42-44) membedakan dalam beberapa tingkatan
Pertama (sama dengan Arasy). Pada tingkat ini benda benda yang akan diciptakan ada dalam pengetahuan Ilahi berupa ide ide umum.
Kedua (sama dengan Kursi). Pada tingkatan ini, ide ide dari benda seakan muncul satu demi satu.
Ketiga. Pada tingkatan ini, kalam Tertingi (Qalam Al Ala) mencatat bentuk benda benda yang diciptakan Lauh al Mahfuz dan patuh pada sabda penciptaan "kun!".
Keempat. Pada tingkat ini terjadi materialisasi dari bentuk bentuk ideal dalam dunia jasmaniah, dimana ide menjadi benda benda aktual.
Dalam karya karya puisi, terdapat 3 hal yang menjadi unsur tipikal, yakni "intelek"(akal atau hati nurani)->jiwa (hati, kalbu, nyawa)->tangan (perbuatan penetapan) atau karya sastra sebagai hasil penetapan.
Akal merupakan aspek intelektual ruh insani, yang mampu memasuki dunia tersembunyi (alam ghaib) yang tidak kasat mata. Akal juga merupakan "tuan bagi jiwa".
Jiwa merupakan tempat gabungan antara yang dikognisi secara intelektual (dunia notmenal) dan yang dikognisi secara sensual (dunia fenomenal). Tradisi Muslim membedakan funhsi inheren di dalam jiwa menjadi dua. Pertama 'indra dalam' (batin) dan 'indra luar'(lahir, zahir) yang masing masing dipandang sebagai aspek aspek indrawi dan psikis pada jiwa.
Psikologi Perbuatan Penciptaan Sebagai Keseluruhan Yang Dinamis
Dalam Tradisi Melayu, terdapat dua jalan yang ditempuh para pengarang pada tingkat reseptif dalam perbuatan kreatif. Jalan pertama biasanya ditempuh kaum berilmu (pandhita) yang berhubungan dengan asimilasi ide ide umum. Ide ide ditangkap dari luar (terutama dari gurunya), lalu disampaikan ke imajinasinya, hingga akhirnya menemukan penetapanya dalam karangan.
Jalan kedua dihubungkan dengan inspirasi dari atas, persepsi langsung pengarang terhadap Daya Cipta Allah yang dinyatakan di dalam Nabi Muhammad sebagai Logos. Jalan ini biasanya ditempuh oleh pengarang muda yang belum cukup ilmunya dan kurang sempurna akalnya.
Penciptaan Karya Sastra
(Tahap Agentif dalam Proses Kreasi)
Menurut teori sastra Islam turunnya Sastra dari tingkatan ide ide citra ke tingkatan benda benda yang berwujud pada dunia material, harus dilakukan dengan cara yang benar.
Aspek terpentin dalam penurunan ini adalah kesesuain antara kata dengan citra ideal, struktur komposisi yang rapi, dan dinyatakan citra ideal dengan cara seefektif efektifnya. Di dalam teori sastra mengetahui ciri teori Sastra Melayu Tradisional (Ilm al Balagha) digunakan sebagai pembanding prinsip di dalamnya.
Pernyataan Yang Tersirat (Makna) melalui yang tersurat (Kata)
Penjelasan paling lengkap tentang pernyataan arti yang benar di dalam karangan sastra, tersimpul dalam kata pengantar dan epilog Taj as Salatin. Ini pula yang menjadi kunci untuk memahami kata pengantar pada banyak karya klasik lainnya.
"Kitab ini yang Maha Mulia dikarangkan pada menyatakan peri pekerjaan segala raja...dengan ibarat yang amin (atau "yang ikhsan" [Khalid Hussain 1966:5]:V.B dan yang sempurna, supaya orang beroleh dari pada bacanya manfaat dan dari pada menurut katanya martabat"(Roorda Van Eysinga 1827:5).
Ilmu Fasihat Arab dan Doktrin Melayu Tentang Pernyataan Makna : Suatu Perbandinan
Teori "ilmu fasihat" (Ilm al Balagha) dikembangkan oleh Abd Al Qahir al Jurjani dan pengikutnya. Teori ini memadukan pengalaman kajian Stilistika Al Quran yang 'tak bertara' (I'jaz al Quran) maupun kritik karangan puisi.
Dua konsep dasar retorika dan puitika Arab adalah Lafz dan Ma'na (lafal dan makna). Lafz (kompleks suara yang diartikulasi, suatu kata terpisah atau suatu totalitas kata dalam aspek fonetik) ialah aspek lahiriah bahasa yang material, yang ditangkap telinga. Sedangkan Ma'na (jamak Ma'ani) oleh para peneliti ilmu puitika Arab Parsi diterjemahkan dalam berbagai pengertian. Terkadang sebagai ide puitis (Ibn Khaldun 1958:3:399-406), terkadang sebagai motif puitis atau pikran dan citra.
Kesesuaian Lafz denan Ma'na merupakan ide terpentin dalam ilmu puitika Arab. Ide ini dikembangkan dalam kitab Abd. Al Qahir al Jurjani, Dala'il al i'jaz (bukti bukti ketiadataraan Al Quran). Di dalamnya Lafz dan Ma'na dikemukakan sebagai dua struktur yang saling bersesuain dan tersusun secara benar.
Sastra tradisional Melayu kekurangan karangan karangan yang bersifat teori dan ilmu puitika yang memungkinkan untuk memasuki masalah kesadaran diri sastra pada penciptanya. Namun, dalam sebuah kata pengantar suatu karangan, terkandung cukup bahan untuk merekonstruksi "kesadaran diri" sastra dalam periode klasik (yakni akhir abad 16 sampai awal abad 19). Unsur yang penting dalam merekonstruksi kesadaran diri adalah kata pengantar dan epilog karangan. Hal ini dikarenakan keduanya merupakan penghubung antara karangan dengan Universum atau Alam Semesta yang merupakan sebuah sistem menyeluruh yang memusat (sentripetal).
Contoh rekonstruksi "Kesadaran Diri" pada Sastra Jawa Kuno dikemukakan oleh P. Zoetmulder (1974:173-196) pada pendahuluan (manggala) kakawin. Manggala ini berisi tentang seluk beluk kehidupan penyair Jawa Kuno.
Kata pengantar dan Epilog digunakan sebagai bahan utama untuk merekonstruksi "kesadaran diri" karena mudah diperoleh. Kata pengantar dan epilog selain dapat ditemukan pada penerbitan karangan karangan, juga terdapat dalam katalog naskah melayu (Ronkel 1909, 1921 dll) dimana kutipan kata pengantar epilog digunakan sebagai identifikasi karangan yang bersangkutan.
Kata pengantar karangan puitis (syair) berbeda panjangnya dalam setiap karangan. Di dalamnya berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, motivasi pengarang, tujuan penciptaan syair, kendala yang dihadapi dan upaya mengatasinya, serta kekurangan karangan.
Kata pengantar karangan syair lebih rinci daripada kata pengantar prosa. Kata pengantar pada karangan prosa sering disederhanakan tanpa mengubah inti semantiknya.
Kata pengantar memanifestasikan konsep Penciptaan melalui perantaraan manusia. Konsep muslim tentang penciptaan melalui perantaraan manusia digunakan sebagai dasar teori, paradigma, terhadap segala bentuk aktivitas termasuk aktivitas literer.
Penciptaan dilaksanakan dalam dua taraf. Taraf pertama ialah penciptaan kesadaran ilahi, yang meliputi ide ide segala benda yang dalam keadaan potensial dan tidak pandang bulu. Lebih tepatnya ialah keluarnya ide tentang suatu benda dari kesatuan sistetis. Taraf kedua, menyusul diucapkannya kata kreatif "kun!", yaitu turunnya ide tentang benda ke dalam dunia materi (alam wadak) dan diterimanya wujud aktual olehnya.
Dalam tahap Penciptaan, struktur kosmos (makrokosmos) serupa dengan struktur jiwa manusia (mikrokosmos). Jiwa manusia merupakan suatu struktur rumit yang tersusun secara hierarkis, dengan fungsi fungsi (kekuatan, quwat) yang lebih rendah melayani yang lebih tinggi.
Persepsi Tentang Inspirasi
(Tahap Reseptif Dalam Proses Kreasi)
Diskripsi mengenai "tahap reseptif" dalam proses kreasi, yang khas bagi syair melayu, dimulai dengan seruan kepada Allah disusul kemudian motif yang berulang ulang.
"Bismillah itu mula dikata
Limpah rahmat terang cuaca
kepada mu'min hati nurani
Di situlah tempat mengasihani" (Raja Iskandar bin Raja Muhd. Zahid 1966:30)
Hakikat kutipan tersebut dapat dirumuskan bahwa dengan menyebut Tuhan dengan nama nama Allah, Rahman (Pengasih) dan Rahim (Penyayang), penyair memohon padaNya agar memberikan rahmat yang melimpah.
Rahmat Ilahi
Baris awal kata pengantar mengandung dan memberi tafsir pada doa "Bismillah ar Rahman ar Rahim" yang memberi sequan pada Allah sebagai Pencipta segala yang ada. Misal pada syair Yahya:
"Bismillah itu permualaan kalam,
Dengan nama khalik al Alam,
Limpah rahmat siang dan malam,
Kepada hambanya segala Islam" (Ronkel 1909:322)
Menurut ajaran tentang tujuh tingkatan (Martabat Tujuh) dari turunnya Wujud keesaan Mutlak kepada keanekaan dunia gejala. Nama Allah berkaitan dengan martabat kedua, yaitu wahdat. Nama Rahman (Pengasih) berkaitan dengan martabat ketiga yakni Wahidiyat.
Selanjutnya disebut Rahman sebagai pemberi wujud segala benda, dan nama Rahim memberi wujud pada benda tertentu saja yang baik dan indah.
Dengan demikian, tindakan menciptakan karya sastra dilaksanakan berkat persepsi pengarang terhadap daya cipta ilahi (Persepsi ilham atau inspirasi ilahi). Inspirasi ini diasumsikan dengan banyaknya ide menulis, tercerahkannya jiwa dan sebagainya.
Nur Muhammda dan Syafaat Muhammad
Kata pengantar menjadi penghubung dunia insan (penyair, pengarang) dengan kegiatan penciptaan al khalik. Unsur ini ialah Cahaya (Cahaya rahmat, Cahaya Nurani, dan sebagainya) yang melimpah atas hati yang safi, yaitu jiwa yang terterangi, dan yang dapat ditangkap olehnya, Lambang cahaya (Cahaya inspirasi) berhubungan erat dengan paham tentang berkat Muhammad atau berkat syafa'at. Berkat ini ditafsirkan sebagai permintaan Muhammad di hadapan Allah agar menganugerahi kemampuan menciptakan karya.
Muhammad sebagai Logos (Nur Muhammad, Hakikat Muhammad) merupakan pengetahuan ilahi yang meliputi segala Maujudat (benda benda ciptaan) yang pertama tama dinyatakan keluar. Dalam doktrin martabat Tujuh, konsep Muhammad sebagai Logos berkaitan dengan martabat yang disebut Wahdat (Johns. 1957:21).
Unsur Unsur Proses Penciptaan di Tahap Reseptif
Sifat Weltanschaung Muslim Zaman Pertengahan yang sangat sistematis menyebabkan ditemukannya sejumlah keterangan yang memungkinkan untuk merekonstruksi proses kreatif jika dipandang secara menyeluruh. Dalam merekonstruksi proses kreatif terdapat hubungan paralel antara ontologi dan psikologi Muslim Tradisional. Naguib Al Attas (1970:71-72, 155-157:1971:42-44) membedakan dalam beberapa tingkatan
Pertama (sama dengan Arasy). Pada tingkat ini benda benda yang akan diciptakan ada dalam pengetahuan Ilahi berupa ide ide umum.
Kedua (sama dengan Kursi). Pada tingkatan ini, ide ide dari benda seakan muncul satu demi satu.
Ketiga. Pada tingkatan ini, kalam Tertingi (Qalam Al Ala) mencatat bentuk benda benda yang diciptakan Lauh al Mahfuz dan patuh pada sabda penciptaan "kun!".
Keempat. Pada tingkat ini terjadi materialisasi dari bentuk bentuk ideal dalam dunia jasmaniah, dimana ide menjadi benda benda aktual.
Dalam karya karya puisi, terdapat 3 hal yang menjadi unsur tipikal, yakni "intelek"(akal atau hati nurani)->jiwa (hati, kalbu, nyawa)->tangan (perbuatan penetapan) atau karya sastra sebagai hasil penetapan.
Akal merupakan aspek intelektual ruh insani, yang mampu memasuki dunia tersembunyi (alam ghaib) yang tidak kasat mata. Akal juga merupakan "tuan bagi jiwa".
Jiwa merupakan tempat gabungan antara yang dikognisi secara intelektual (dunia notmenal) dan yang dikognisi secara sensual (dunia fenomenal). Tradisi Muslim membedakan funhsi inheren di dalam jiwa menjadi dua. Pertama 'indra dalam' (batin) dan 'indra luar'(lahir, zahir) yang masing masing dipandang sebagai aspek aspek indrawi dan psikis pada jiwa.
Psikologi Perbuatan Penciptaan Sebagai Keseluruhan Yang Dinamis
Dalam Tradisi Melayu, terdapat dua jalan yang ditempuh para pengarang pada tingkat reseptif dalam perbuatan kreatif. Jalan pertama biasanya ditempuh kaum berilmu (pandhita) yang berhubungan dengan asimilasi ide ide umum. Ide ide ditangkap dari luar (terutama dari gurunya), lalu disampaikan ke imajinasinya, hingga akhirnya menemukan penetapanya dalam karangan.
Jalan kedua dihubungkan dengan inspirasi dari atas, persepsi langsung pengarang terhadap Daya Cipta Allah yang dinyatakan di dalam Nabi Muhammad sebagai Logos. Jalan ini biasanya ditempuh oleh pengarang muda yang belum cukup ilmunya dan kurang sempurna akalnya.
Penciptaan Karya Sastra
(Tahap Agentif dalam Proses Kreasi)
Menurut teori sastra Islam turunnya Sastra dari tingkatan ide ide citra ke tingkatan benda benda yang berwujud pada dunia material, harus dilakukan dengan cara yang benar.
Aspek terpentin dalam penurunan ini adalah kesesuain antara kata dengan citra ideal, struktur komposisi yang rapi, dan dinyatakan citra ideal dengan cara seefektif efektifnya. Di dalam teori sastra mengetahui ciri teori Sastra Melayu Tradisional (Ilm al Balagha) digunakan sebagai pembanding prinsip di dalamnya.
Pernyataan Yang Tersirat (Makna) melalui yang tersurat (Kata)
Penjelasan paling lengkap tentang pernyataan arti yang benar di dalam karangan sastra, tersimpul dalam kata pengantar dan epilog Taj as Salatin. Ini pula yang menjadi kunci untuk memahami kata pengantar pada banyak karya klasik lainnya.
"Kitab ini yang Maha Mulia dikarangkan pada menyatakan peri pekerjaan segala raja...dengan ibarat yang amin (atau "yang ikhsan" [Khalid Hussain 1966:5]:V.B dan yang sempurna, supaya orang beroleh dari pada bacanya manfaat dan dari pada menurut katanya martabat"(Roorda Van Eysinga 1827:5).
Ilmu Fasihat Arab dan Doktrin Melayu Tentang Pernyataan Makna : Suatu Perbandinan
Teori "ilmu fasihat" (Ilm al Balagha) dikembangkan oleh Abd Al Qahir al Jurjani dan pengikutnya. Teori ini memadukan pengalaman kajian Stilistika Al Quran yang 'tak bertara' (I'jaz al Quran) maupun kritik karangan puisi.
Dua konsep dasar retorika dan puitika Arab adalah Lafz dan Ma'na (lafal dan makna). Lafz (kompleks suara yang diartikulasi, suatu kata terpisah atau suatu totalitas kata dalam aspek fonetik) ialah aspek lahiriah bahasa yang material, yang ditangkap telinga. Sedangkan Ma'na (jamak Ma'ani) oleh para peneliti ilmu puitika Arab Parsi diterjemahkan dalam berbagai pengertian. Terkadang sebagai ide puitis (Ibn Khaldun 1958:3:399-406), terkadang sebagai motif puitis atau pikran dan citra.
Kesesuaian Lafz denan Ma'na merupakan ide terpentin dalam ilmu puitika Arab. Ide ini dikembangkan dalam kitab Abd. Al Qahir al Jurjani, Dala'il al i'jaz (bukti bukti ketiadataraan Al Quran). Di dalamnya Lafz dan Ma'na dikemukakan sebagai dua struktur yang saling bersesuain dan tersusun secara benar.
Langganan:
Postingan (Atom)