Sabtu, 09 April 2011

SAJAK DATANG DARA HILANG DARA KARYA: CHAIRIL ANWAR ANALISIS STRATA NORMA ROMAN INGARDEN

Datang Dara, Hilang Dara

“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak

Diumumkan oleh H.B Jassin dalam majalah: Mimbar Indonesia


















Analisis Strata Norma Roman Ingarden Sajak Datang Dara Hilang Dara
Karya : Chairil Anwar

1. LAPIS BUNYI/LAPIS SUARA
Lapis bunyi dalam sajak adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan efek puitis dan nilai seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain bunyi juga memilki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya. Dalam sejarah puisi, bunyi pernah menjadi unsur kepuitisan yang paling dominan (utama) pada sastra Romantik (abad ke-18 dan 19). Bahkan Paul Verlaine, seorang simbolis, mengatakan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Slametmuljana menambahkan bahwa tiap kata (dalam puisi) menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 22).
Dalam bait pertama sajak datang dara hilang dara, terdapat kombinasi vokal (asonansi) bunyi a dan i pada kata sendiri, berani, mencari, dara, mengembara, dan senja. Pada bait pertama terdapat aliterasi r yang masing-masing ada pada kata dara, sendiri, berani, mengembara, dan mencari.
Dalam bait kedua, terdapat asonansi a dan u pada kata mau, menyapu, dan rambutku. Kombinansi bunyi konsonan bersuara (voiced): (b,d,g,j) pada kata biar, menderu, sejenak, dan gelombang dan bunyi sengau (nasal): (m, n, ng,ny) pada kata malam, menderu, mengembara, menyisir, dan menyapu mendukung suasana gembira yang ditunjukkan dara pada bait ke dua.
Di bait ketiga, ada asonansi bunyi a dan i pada kata terurai, cari, asing, dan pantai. Bunyi liquida l dan r juga ditemukan pada kata rambutku, lepas, terurai, dan bunyi sengau pada kata dingin, asing, pulang, rambut, dan pantai.
Pada bait keempat, dominasi bunyi a dan u menimbulkan asonansi bunyi terutama pada baris 1, 2, dan 3 yang digunakan sebagai lambang rasa (klanksymboliek) yang menyatakan kegembiraan seorang gadis yang tengah bersenandung. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata dingin, bintang, dengan, dan bernyanyi yang menimbulkan bunyi yang padu (eufoni).
Pada bait kelima, terdapat kombinasi yang tidak merdu (kakofoni) yang menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan seperti ditunjukkan pada baris kedua dan ketiga.
Pada bait ke enam, ditemukan bunyi onamatope yang menirukan bunyi seekor burung elang pada kata “heeyaa!”. Dominasi bunyi sengau pada kata elang, sekarang, hilang, pasang, melenggang, gelombang, pantai, dan senja menimbulkan kepaduan bunyi yang merdu (eufoni).
Di bait ketujuh, ditemukan bunyi penanda kakofoni (k,p,t,s) pada kata mengamuk dan membuas yang menjadikan bunyi menjadi tidak padu, tidak merdu, apalagi tidak ditemukan aliterasi maupun asonansi pada bait ketujuh. Bunyi-bunyian tersebut sesuai dengan penggambaran laut yang tengah diterpa badai.
Pada bait kedelapan, ada perpaduan bunyi konsonan (aliterasi) bunyi n pada kata menelan, getaran, jadikan, kedahsyatan, dan ketenangan. Bunyi sengau pada kata gelombang, sendiri, ketenangan, tenang, hilang, dan pasang menambah merdu bunyi yang dihasilkan.
Pada bait kesembilan, adanya repetisi pada kata mana menghasilkan bunyi yang padu dalam keseluruhan bait.
Pada bait terakhir, terdapat aliterasi bunyi m pada baris pertama pada kata malam, kelam, mencat, dan hitam. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata malam, kelam, mencat, hitam bintang, pantai, dan senja.

2. LAPIS ARTI

Lapis arti (units of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 17). Lapis arti digunakan untuk memaknai puisi secara lebih lengkap dengan membuat sebuah puisi dengan bahasa yang padat menjadi sebuah prosa yang lebih jelas menceritakkan isi puisi. Kegiatan memprosakan puisi lazim disebut pharaphrase.
Dalam bait pertama diceritakan seorang gadis yang berani berkeliaran di tepi pantai pada waktu senja. Gadis itu sedang mencari hakikat kebebasan dan jati dirinya sebagai seorang remaja. Kemudian si aku mengajak dara untuk pulang.
Dalam bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan angin malam yang menghamburkan pasir, dan menerpa gelombang, juga meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara sampai menemukan apa yang ia cari, yakni hakikat dari sebuah kebebasn yang baru saja ia rasakan di pantai.
Dalam bait ketiga aku merasakan rambutnya yang lepas terurai dihempas angin. Aku bertanya pada dara apa gerangan yang ia cari di laut dingin di pantai yang asing. Sekali lagi aku membujuk dara agar turut pulang bersamanya.
Dalam bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari aku. Dara ingin bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan hatinya. Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angin yang berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam bait kelima aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis (dara anak berani) dan menakuti kalau hujan badai akan segera turun dan apabila dara tidak segera pulang sekarang, ia akan tersesat karena suasana semakin gelap (nanti semua gelap, kau hilang jalan).
Dalam bait keenam dara bukannya menuruti kata-kata aku justru malah menari di tepi pantai menirukan seekor elang yang terbang bebas melintasi gelombang pasang ketika senja disaat pantai mulai tidak terlihat (ketika senja pasang, ketika pantai hilang). Si dara menirukan gerakan elang terbang yang melenggang ke kiri dan kekanan sambil merentangkan kedua tangannya.
Di bait ketujuh aku kembali memperingatkan dara bahwa laut mulai dihempas badai (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang yang semakin besar (lihat, gelombang membuas berkejaran). Untuk yang terakhir kalinya si aku mengajak dara pulang.
Di bait kedelapan dara tetap keras kepala dan tidak mengindahkan ajakan si aku. Dara justru berkata bahwa ia sendiri adalah bagian dari getaran gelombang, yang menciptakan kedahsyatan air pasang, juga ketenangan air laut saat surut. Ia begitu asyik bermain hingga dara tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah hilang ditelan gelombang hingga kepalanya berada di bawah buih busa dan lumut laut.
Di bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang ditelan gelombang.
Di bait terakhir, si aku mertapi kematian dara di bawah malam yang kelam oleh mendung hingga bintang-bintang kehilangan cahayanya. Aku mencari dara di pantai, namun hanya kehampaan yang aku temui.

3. LAPIS KETIGA

Lapis berikutnya adalah lapis ketiga. Lapisan ini muncul setelah menganalisis lapis artis arti. Wujud dari lapis ketiga ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku dan dunia pengarang. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18). Dalam sajak Datang Dara Hilang Dara, lapis itu berupa:

a.) Objek-objek yang dikemukakan antara lain : dara, pantai, senja, angin, malam, rambut, pasir, gelombang, laut, kalbu, bintang, bayu, lagu, tubuh, dan sinar/cahaya.
b.) pelaku atau tokoh : si aku dan dara
c.) latar waktu : saat senja beranjak malam ketika langit sedang mendung dan berangin.
d.) latar tempat : pantai senja yang sedang mendung dan berangin dan tidak ada cahaya.
e.) Dunia pengarang :
Dara, seorang gadis yang mengembara mencari hakikat kebebasan di pantai senja. Si aku berusaha membujuk dara agar mau pulang, namun dara menolak. Ia menikmati kebebasan yang ia dapatkan melalui angin malam yang berhembus diantara pasir dan gelombang laut dan sesekali membelai rambutnya. Dara tidak akan pulang sebelum menemukan apa yang ia cari. Si aku bertanya apa gerangan yang sedang dara cari, aku mengajak dara pulang. Dara menolak. Ia ingin bernyanyi di pantai di bawah bintang-bintang dan diantara hembusan angin. Ia ingin bernyanyi sebebas bebasnya. Si aku tidak menyerah membujuk dara untuk pulang. Si aku juga merayu dara dengan menyebut dara anak yang berani, dan mengatakan langit mendung, nanti bila gelap dara akan tersesat mencari jalan pulang. Namun dara tetap menolak, ia justru semakin menjadi jadi dengan bermain-main menirukan elang yang sedang terbang diatas gelombang ketika laut pasang di kala senja. Si aku tetap tidak menyerah dan tetap membujuk dara pulang, dan menakuti dengan berkata laut akan diterjang badai, gelombang pun semakin besar. Dara menolak dan mengandaikan dirinya sendiri adalah gelombang. Hingga di antara kedahsyatan air pasang, tubuhnya hanyut hingga kepalanya tenggelam di bawah lumut. Dara hilang ditelan gelombang. Si aku mencari dengan putus asa bayang ramping tubuh dara. Dalam keadaan putus asa, si aku mencari dara, di bawah malam yang gelap tanpa bintang-bintang,si aku mencari dara di pantai senja yang beranjak malam. Namun dara tidak ada. Dara mati ditelan gelombang.

1. LAPIS KEEMPAT

Lapis keempat adalah lapis pembentuk makna dalam sajak, lapis ‘dunia’ yang tidak perlu dinyatakan, namun sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18-19).
Dunia yang tidak perlu dinyatakan tetapi sudah implisit tampak sebagai berikut:
Dara adalah seorang gadis yang sendirian (dara yang sendiri) yang mencari kebebasan di pantai kala senja.
Di bait ketiga si aku mengajak dara pulang. Namun ajakan aku ditolak oleh dara. Si aku membujuk dengan mengatakan laut akan dihantam badai dan mengajak dara pulang agar nanti tidak tersesat.
Di bait keempat menceritakan penolakan dara yang justru malah bermain-main menirukan gerakan seekor elang yang tengah terbang.
Di bait ketujuh, menyatakan kegelisahan si aku karena bujukannya mengajak dara pulang tidak berhasil sentara laut akan diterjang badai.
Di bait kedelapan menyatakan dara tetap menolak dan teguh pada pendiriannya hingga akhirnya ia hilang ditelan gelombang ( atap kepalaku hilang di bawah busah dan lumut).
Di bait kesembilan dan kesepuluh, menyatakan kegagalan si aku dalam membujuk dara pulang hingga akhirnya dara mati ditelan gelombang.




5. LAPIS KELIMA

Terakhir dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 19).
Dalam sajak ini, lapis itu berupa pencarian makna akan kebebasan yang ditunjukkan oleh tokoh dara. Dalam pencariannya akan kebebasan tersebut, seringkali manusia hanya menurutkan egonya saja, tanpa ambil peduli apakah jalan yang ia tempuh tersebut baik untuknya ataukah justru malah merugikan dirinya. Memang ada kalanya manusia menginginkan saat-saat dimana dirinya merasakan kebebasan akan kungkungn dan belenggu norma-norma yang seringkali dirasa terlalu ketat mengikat dan membatasi kebebasan. Namun dalam pencarian akan hakikat kebebasan itu, manusia hendaknya tidak melupakan batasan-batasan yang ada, sehingga tidak terjerumus oleh kebabasan yang diluar batas yang justru akan merugikan diri sendiri. Namun \manusia seringkali tidak peduli terhadap nasihat-nasihat orang-orang di sekitarnya yang peduli kepadanya dan tetap menusruti hawa nafsunya hingga akhirnya binasa oleh egonya.

1 komentar:

  1. Ini salah satu puisi yg pernah saya sampaikan saat perlombaan...

    BalasHapus